7. Lancang

27 8 5
                                    

Justru mungkin Kanu yang rugi karena buang-buang waktu untuk orang-orang kolot kayak lo dan teman-teman lo.
—N. Wirajaya

—∞—∞—∞—
7. Lancang
—∞—∞—∞—

Sashi tahu, lebih dari tahu, bahwa berita hubungannya dengan Dava yang kandas telah menjadi konsumsi publik sejak beberapa hari lalu. Sebetulnya Sashi sempat mendengar bisik-bisik negatif beberapa murid mengenai dirinya, tetapi dia menolak untuk peduli.

Kata mereka, Sashi dicampakkan oleh Dava. Kata mereka, Sashi itu cewek murahan karena bisa langsung dekat dengan cowok lain usai putus dari Dava. Kata mereka, Sashi tidak seharusnya tetap berjalan tegap penuh percaya diri setelah apa yang dia lakukan.

Namun, Sashi menolak mengindahkan kata mereka. Memangnya apa yang telah dia lakukan? Toh, itu juga bukan tindak kriminal. Memangnya dia merugikan orang lain karena memiliki teman baru setelah putus dari pacar? Dia yang dicampakkan, lantas kenapa mereka yang sewot?

Sesaat sebelum menginjakkan kaki di kantin bersama Kanu dan Neo, Sashi sudah mempersiapkan diri memasang perisai tak kasatmata pada kedua telinganya. Terserahlah orang lain mau bilang apa. Dia hanya mau mendengar apa yang mau didengarnya.

Setiba di kantin, Sashi memimpin jalan menuju tempat duduk yang kosong. Neo dan Kanu lebih dulu duduk, sementara Sashi tetap berdiri. “Kalian mau makan apa? Biar gue yang pesenin.”

“Bakso daging Mas Jo,” sahut Neo. Sejenak itu terdengar seperti Neo adalah seorang kanibal, padahal tidak demikian. Maksudnya bukan bakso dari daging Mas Jo, melainkan bakso daging yang dijual oleh Mas Jo. “Minumnya es teh.”

Sashi mencatat informasi itu dalam ingatannya. Dia beralih menatap Kanu, meminta jawaban, tetapi cowok itu hanya menggeleng. “Kalo minum gimana? Susu? Es teh? Or anything?”

“Air mineral aja,” sambar Neo seolah mewakili Kanu.

Bersama informasi terakhir itu, Sashi berlalu dari hadapan Neo dan Kanu. Cewek itu menyambangi beberapa bilik kantin untuk memberi tahu pesanan mereka.

Tidak sampai lima menit, Sashi kembali pada dua teman cowoknya dengan membawa sebotol air mineral dan dua tangkai permen kaki berwarna merah. Setelah menyerahkan barang bawaannya satu per satu pada Kanu dan Neo, cewek itu pun dengan santai mengambil duduk di hadapan mereka. “Bakso sama es tehnya nanti diantar, Ne.”

Neo mengangguk paham, tidak berkomentar apa-apa. Kanu juga tidak terlihat berminat menyahuti—dan sebetulnya memang tidak ada yang perlu disahuti, sih.

Sashi tidak tahan dengan keheningan di antara mereka, jadi dia memutuskan membuka obrolan baru. “Oh iya, pas dies natalis sekolah nanti kalian mau perform buat unjuk bakat nggak?”

“Gue nggak punya bakat,” jawab Neo tanpa minat.

“Lo kan jago public speaking, Ne.”

Neo tidak menyangkal pernyataan itu. Dia memang jago public speaking dan bisa melakukan banyak pertunjukan seperti orasi, speech bahasa Inggris, atau membaca puisi. Namun, dia tidak terlalu menaruh minat untuk memamerkan skill itu di atas panggung. Dia lebih suka memamerkannya di ajang perlombaan dan keluar sebagai pemenang. Sampai hari ini, tidak kurang dari tiga puluh lomba yang telah diikuti Neo dari kelas 8 SMP. Meski demikian, bidang akademiknya di sekolah tetap berjalan dengan stabil. Stabil di sini maksudnya dia tetap menjadi juara umum 1 di setiap semester.

“Kalo lo, Nu?” Sashi beralih pada Kanu setelah tidak mendapat respons dari Neo. “Mau perform nggak?”

Jelas saja Kanu langsung menggeleng. Dia mana mau terang-terangan menunjukkan diri di hadapan banyak orang.

Menuju Tak HinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang