19. Nonsens -1 dan ∞

21 5 11
                                    

Kamu berhasil bikin saya jadi orang bodoh yang berharap sama hal-hal yang nggak mungkin.
—K.A. Samudra

—∞—∞—∞—
19. Nonsens -1 dan ∞
—∞—∞—∞—

Waktu istirahat hari ini, Sashi kembali berdiam diri di kelas. Kali ini dia ditemani Windy, sementara Mauri dan Bila ke kantin. Sashi sudah berusaha bilang bahwa dia tidak apa-apa ditinggal sendiri, tetapi temannya satu itu tetap kekeh. Katanya sih takut Sashi kebanyakan melamun dan berujung galau.

Windy berusaha mengajak Sashi bercerita untuk mengalihkan pikiran cewek itu. Namun, Sashi hanya membalas seadanya karena memang sedang tidak cukup berminat untuk mengobrol. Ada hal lain yang perlu dipikirkannya, yakni mengenai si pengirim surat yang tak kunjung membalas SMS terakhirnya soal meminta waktu sampai dies natalis.

Sashi kepikiran buat mem-follow up SMS itu, tetapi buru-buru diurungkannya karena teringat keberadaan Windy di sini. Dia tidak mau ketahuan sedang diancam oleh orang lain. Sashi memang belum cerita dengan teman-temannya. Dia berniat cerita setelah mengetahui dengan pasti siapa si pengirim surat. Namun, sampai detik ini tidak ada clue apa pun. Dia benar-benar habis ide.

Tiba-tiba Mauri dan Bila kembali ke kelas dalam keadaan kusut. Dua siswi itu berlarian cepat menghampiri Sashi dan Windy.

Terutama Bila. Cewek itu saking hebohnya sampai kelepasan menepuk meja Sashi dan membuat perhatian semua orang di kelas tersita. “Ekskul gue kecolongan!”

“Hah? Kecolongan apa?” tanya Sashi bingung.

“Ada orang yang nempel surat di mading tanpa sepengetahuan anak Jurnalis,” kata Bila dengan napas satu-dua. “Dan surat itu ... surat itu tentang lo, Shi.”

Informasi terakhir dari Bila lebih dari cukup untuk membuat Sashi refleks bangkit dengan tak santai. Tanpa perlu menjernihkan pikiran, cewek itu berlari kencang meninggalkan kelas, menuju mading yang terletak di dekat koridor ruang ekskul. Mauri, Windy, dan Bila segera menyusul.

Sashi berlari dengan mengerahkan semua tenaga yang dimilikinya. Pikirnya, tiba di mading secepat mungkin bisa mencegah lebih banyak orang membaca surat itu.

Namun, nahas, mau secepat apa pun Sashi berlari, mading itu sudah keburu dikerubungi lautan manusia.

Langkah Sashi terhenti di belakang kerumunan. Napasnya tidak beraturan. Tangannya terkepal kuat, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk menerobos lautan manusia itu dan mengecek surat yang dimaksud.

Mauri, Windy, dan Bila tiba tidak lama setelahnya. Mauri segera menahan tangan Sashi, meminta temannya itu untuk lebih tenang dan tidak sumbu pendek. “Jangan sekarang. Di sana ada Kanu dan Neo,” bisiknya di telinga Sashi.

Informasi itu praktis membuat jantung Sashi berdegup lebih kencang. Tentu ini bukan sensasi sedang jatuh cinta. Ini sensasi sedang mempertaruhkan hidup.

Keberadaan Sashi akhirnya mulai disadari. Kontan hal itu menyulut perhatian dari kerumunan yang semula berpusat di mading, termasuk Kanu dan Neo.

Neo beranjak menghampiri Sashi lebih dulu dengan tangan yang meremas sesuatu. Sashi bisa melihat warna ungu gradasi yang familier di tangan cowok itu.

“Bilang kalo semua ini nggak benar,” kata cowok berkacamata itu, berusaha terdengar tidak marah walau tetap terkesan tegas dan penuh penekanan. “Lo nggak mungkin sejahat ini kan, Shi?”

“Neo, gue ....” Kalimat Sashi tertahan karena suaranya tiba-tiba melirih di akhir. Suasana ini terasa sangat mencekam dan itu berhasil membuat dadanya sesak. “Gue minta maaf ....” Sashi susah payah menyelesaikan kalimat itu.

Menuju Tak HinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang