11. Perkara Surat Cinta

28 7 14
                                    

Terserah lo masih marah sama gue apa nggak, yang jelas lo harus makan.
—N. Wirajaya

—∞—∞—∞—
11. Perkara Surat Cinta
—∞—∞—∞—

Sepulang sekolah, seperti biasa, Kanu duduk di gazebo dekat kolam ikan untuk menunggu Sashi dan Neo selesai siaran. Kalau saja tidak ingat Sashi, sekarang Kanu pasti sudah beranjak dari sekolah lebih awal dan enggan menunggu Neo. Entahlah, dia masih merasa kesal soal surat semalam.

Apakah Neo akan memberikannya hari ini? Atau apakah Neo telah memberikannya pada Sashi? Lalu bagaimana tanggapan Sashi? Entah kenapa Kanu sangat ingin tahu kelanjutannya.

Kanu berusaha mengusir pertanyaan-pertanyaan yang mengusik benaknya itu dengan fokus membaca buku. Namun, mau sefokus apa pun, tetap saja ujung-ujungnya cowok itu tidak berhenti memikirkannya.

Fokus Kanu semakin buyar ketika didengarnya suara Sashi yang mengambil alih siaran radio setelah Neo menyiarkan berita terkini soal delegasi sekolah mereka dalam pertukaran pelajar ke Malaysia.

“Oke, sekarang kita masuk ke sesi yang sangat ditunggu-tunggu, nih. Labirin: Ligans Bercerita dan Titip Pesan! Kali ini surat pertama akan dibacain sama Neo. Yuk, Ne, aku penasaran nih suratnya dari siapa dan buat siapa.”

“Kali ini suratnya anonim, Shi. Tapi, kayaknya kamu perlu siap-siap, deh.”

Wih, ada apakah gerangan? Suratnya buat aku, ya?”

Bingo! Oke, aku bacain sekarang, ya.” Neo terdengar berdeham penuh wibawa sebelum membacakan surat itu. “Untuk Sashika Nindyani.”

Tubuh Kanu praktis menegang. Gerakan tangannya yang hendak membalik halaman buku tertahan di tempat.

“Hai, Sashi.” Neo membacakan sapaan itu dengan nada serius. “Gue tahu lo masih sedih karena baru putus dari pacar lo. Gue nggak bermaksud untuk ambil kesempatan dalam kesempitan dengan nulis surat ini, tapi gue nggak suka lihat lo sedih. Gue nggak suka lihat kacamata hitam itu lo pake buat nutupin mata bengkak lo. Kasihan wajah manis lo kalo gitu, ikut ketutupan.”

Tanpa sadar, tangan Kanu terkatup rapat dengan satu lembar kertas buku yang remuk di dalamnya. Dia ingin menolak untuk mendengar, tetapi suara Neo telah begitu akrab di telinga sehingga Kanu merasa seolah ditikam belati tajam saat mendengarnya.

“Sashi, ini memang kedengaran cupu. Gue nggak punya keberanian buat bilang langsung soal ini. Tapi ... lo mau nggak kasih gue kesempatan buat bikin lo bahagia? Kalo lo mau, temui gue di belakang ruangan Ligaradio habis kita siaran, ya. I hope to see you there, Shi.”

Jujur, Kanu ingin marah dan segera berlari ke ruangan Ligaradio detik ini juga untuk mencegah pertemuan dua orang itu nantinya, tetapi apa haknya? Jika memang Sashi yang diinginkan Neo, apa boleh Kanu merasa berkepentingan untuk menghalangi mereka? Kanu tidak seharusnya merasa setidak terima ini, kan? Bagaimanapun, Neo adalah temannya.

Menuju Tak HinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang