12. Tamu Tak Diundang

24 9 4
                                    

Bukannya wajar kalau teman dukung temannya sendiri yang mau tanding?
—D. Mahendra

—∞—∞—∞—
12. Tamu Tak Diundang
—∞—∞—∞—

Bola basket itu mengayun lancar di udara untuk kemudian jatuh tepat di depan kaki seorang siswi. Siswi itu menyeringai tipis, merasa momen ini seolah memberinya kesempatan untuk bersinggungan lagi dengan mantan kekasihnya.

Dava, sang pelempar bola salah sasaran, menggaruk tengkuknya seraya berjalan ogah-ogahan menghampiri siswi itu. Di mata sang siswi, cowok itu masih saja terlihat keren, bahkan dengan baju basket yang basah kuyup oleh keringat, juga peluh yang mengalir dari pelipisnya sebagai hasil dari latihan basket selama dua jam sejak bel pulang berbunyi tadi.

Setiba di hadapan siswi itu, badan tinggi besar Dava membungkuk dan tangannya terulur untuk meraih bola. Namun, kaki siswi itu keburu menginjak benda bulat itu sehingga sulit digapai.

Embusan napas berat keluar dari hidung Dava dan terdengar cukup jelas. Ditegakkannya tubuh, lantas ditatapnya siswi itu tanpa minat. “Bolanya, Kak.”

“Bakal gue kasih,” jawab siswi ber-name tag Riri Handayani itu penuh perhitungan, “asal kita balikan.”

Dava berdecak, menyugar rambut basah berkeringatnya sedikit kesal. Dia sama sekali tidak merasa perlu sopan di hadapan siswi yang notabene kakak tingkatnya ini. “Kurang jelas apa gue bilang? Gue nggak bisa lagi nerusin hubungan kita karena hati gue masih dan selalu stay di Sashi. Gue juga udah minta maaf baik-baik ke lo karena udah sempat jadiin lo pelarian di saat gue bosan.”

“Lo yakin Sashi masih mau sama lo? Lo pasti dengar ada yang nembak dia lewat radio,” balas Riri tenang. Namun, detik berikutnya wajah tenang itu berubah sedikit tidak sabaran karena Dava tidak sedikit pun menatapnya tertarik, seolah-olah dia hanya ngengat pengganggu yang numpang lewat. “Emang apa kurangnya gue sih, Dav? Gue jelas lebih cantik, tinggi, langsing, dan pintar dibanding dia.”

“Lo emang lebih segalanya, tapi kalo hati gue tetap pilih dia, gue bisa apa? Lo juga bisa apa?” Dava menatap Riri penuh tuntutan. Sejenak matanya beralih pada bola basket di bawah kaki Riri, berpikir selama beberapa saat, hingga akhirnya memutuskan merelakan bola itu. “Gue pergi.”

Setelah berkata begitu, Dava berlalu dari hadapan Riri, meninggalkan siswi itu yang kini menahan gejolak ingin melempar bola basket ke punggung bidangnya yang kian menjauh.


—∞—∞—∞—

Papa
Today, 8.29 PM

| Kanu, apa kabar?
| Uang kamu masih ada?

Sudah sekitar setengah jam Kanu membiarkan pesan itu tidak berbalas. Matanya sedari tadi hanya menatap lurus ke layar ponsel dengan tangan yang menggenggam benda itu cukup erat. Semakin lama, rasanya semakin erat dan membuat tangannya sakit.

Akhirnya Kanu memutuskan membalas pada menit ke-35 sejak pesan itu masuk ke notifikasinya.

Baik |
Masih |

Tidak lama, pesan lainnya masuk.

| Libur semester nanti Papa mau pindah dan menetap di Batam bareng mama dan adik kamu
| Kamu yakin mau tetap tinggal sendirian? Nggak mau ikut kami?

Menuju Tak HinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang