10. Berantem

30 6 8
                                    

Gue nggak pernah mau perhitungan sama lo yang udah nampung gue di rumah ini, tapi gue juga punya batas, Nu. Bercanda lo bener-bener kelewatan.
—N. Wirajaya

—∞—∞—∞—
10. Berantem
—∞—∞—∞—

Malam harinya, Neo pulang membawa kantong berisi seekor ayam goreng dengan saus barbeque. Wajah lelahnya tertutupi oleh ekspresi kecut tatkala melihat Kanu dengan santainya menonton televisi ditemani segelas susu sereal rasa cokelat.

Ingin rasanya Neo menimpuk kepala Kanu dengan seekor ayam yang dibawanya. Namun, dia tidak cukup bertenaga melakukan itu. Akhirnya Neo hanya mengempaskan badan ke atas sofa panjang di sebelah Kanu setelah meletakkan bungkusan ayamnya ke atas meja.

Kanu menoleh sekilas pada kantong putih di depannya, lantas beralih menatap Neo seolah prihatin. “Saya tadi bercanda,” katanya lewat bahasa tubuh.

Tubuh Neo yang semula bersandar lesu kontan menegak mendengar pengakuan itu. “Lo apa-apaan, sih? Gue ada salah apa gimana? Atau lo masih dendam soal kulit kuaci kemarin?” tanyanya menggebu-gebu. Beberapa hari yang lalu, mereka memang sempat berantem karena Neo tanpa adab melemparkan kulit kuaci sembarangan saat Kanu sedang menyapu lantai rumah.

Kanu meringis tanpa suara mendengar luapan kekesalan Neo. “Maaf.”

“Gue bisa terima kalo lo bercanda soal yang lain, tapi nggak buat yang ini. Lo kan tahu gimana susahnya gue cari uang. Mati-matian gue kerja, ikut lomba sana-sini, dan hidup hemat biar bisa nabung buat kuliah nanti. Gue nggak pernah mau perhitungan sama lo yang udah nampung gue di rumah ini, tapi gue juga punya batas, Nu. Bercanda lo bener-bener kelewatan.”

Kini Kanu benar-benar dibuat menyesal. Dia tadi hanya berpikiran pendek meluapkan rasa kesal entah karena apa pada Neo, tetapi dia tidak bermaksud serius. Dia hanya bermain, tetapi sepertinya Neo tidak menganggap demikian. Kanu juga tidak mau membenarkan apa yang telah dilakukannya karena dia memang salah.

Belum sempat Kanu mengutarakan rasa bersalahnya, Neo beranjak lebih dulu meninggalkan ruang tengah. Kanu mengusap rambut dengan frustrasi menerima itu. Dia salah, sangat salah. Hidup Neo sudah sangat padat dengan kegiatan sekolah, mengajar les privat, dan mengikuti lomba-lomba. Seharusnya Kanu tidak menambah beban temannya itu dengan keisengannya.

Setelah memutar otak selama beberapa menit dan memastikan Neo sudah selesai membersihkan diri, akhirnya Kanu menghampiri sang teman ke kamar. Neo terlihat siap-siap untuk belajar saat Kanu tiba. Dia menyadari kehadiran Kanu di dekat meja belajarnya, tetapi enggan sekadar menoleh.

Kanu bingung harus apa. Neo sepertinya tidak berminat menatapnya sehingga dia tidak tahu harus bagaimana lagi.

Akhirnya pilihan Kanu jatuh pada selembar kertas di atas meja belajar Neo. Tanpa komando, diraihnya kertas itu berikut pena dari dalam wadah alat tulis. Neo menyadari gerak-gerik Kanu di sebelahnya, tetapi dia tidak berminat meladeni.

Beberapa menit kemudian, Kanu tidak kunjung selesai menuliskan sesuatu yang entah apa pun itu. Neo mendadak penasaran. Apakah Kanu menulis sepanjang itu?

Saat akhirnya menoleh pada Kanu, mata Neo membelalak selebar mungkin. Didapatinya Kanu sedang membaca tulisan dari selembar kertas yang dikenalnya. Kertas itu berisi surat rahasia yang sejak awal mati-matian berusaha disembunyikannya dari Kanu.

Neo segera merampas suratnya dari tangan Kanu. Dia berdiri tak santai, menatap Kanu tidak terima. “Lo apa-apaan? Berasa gue nggak punya privasi banget!”

Menuju Tak HinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang