8. Berhasil

28 7 5
                                    

Saya yakin mampu atas suatu hal, tapi saya nggak berani coba karena merasa nggak pantas. Setelah dipikir-pikir, saya nggak bisa terus begitu. Saya mau berkembang. Saya harus berkembang.
—K.A. Samudra

—∞—∞—∞—
8. Berhasil
—∞—∞—∞

TIIIN!

Bunyi klakson mobil yang nyaring membuat Sashi terlompat kecil dari posisinya di trotoar barat tak jauh dari gerbang SMA Lingkar Global. Cewek itu melotot penuh permusuhan ke sumber bunyi, tepatnya ke Dava yang baru saja menghentikan sedan kuningnya di pinggir jalan dekat Sashi. Cowok itu melambaikan tangan seraya tersenyum tanpa rasa bersalah.

“Hai, Shi. Lagi nungguin ojek, ya?”

“Kenapa?” tanya Sashi sewot. Dia memang sedang menunggu ojek, tetapi dia sama sekali tak berminat menjawab pertanyaan basa-basi Dava. Beberapa malam belakangan, Sashi telah latihan untuk menguasai diri lebih baik lagi saat berhadapan dengan Dava, jadi tidak ada lagi istilah speechless atau “hah” lemot seperti yang ditunjukkannya tempo hari.

“Mau pulang bareng?” tawar Dava.

“Pulang aja sama cewek lo,” balas Sashi sekenanya. “Kita kan udah nggak ada apa-apa lagi.”

Dava tertawa kecil. Selanjutnya, Sashi pikir cowok ini sudah gila karena sempat-sempatnya tertawa saat mengabarkan berita menyedihkan terkait hubungannya dengan Riri. “Gue udah putus, tau.”

Tentu saja Sashi kaget. Namun, dia tidak mau kelihatan begitu. Dia pun berdeham singkat untuk kembali menguasai diri. “Nggak cari cewek lain?”

“Ini baru mau,” sahut Dava santai. Selanjutnya, cowok itu membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana setelah memastikan kendaraannya aman di pinggir jalan. “Lo mau nggak balikan?” tanyanya usai tiba di sebelah Sashi.

Mendengar itu, alih-alih takjub atau bagaimana, Sashi justru refleks meninju lengan Dava. Memang sih, tebersit sedikit perasaan senang dan salah tingkah atas tawaran barusan, tetapi jelas Sashi tidak mau terlihat segampangan itu. Lagipula, perasaan semacam itu hanya sedikit. Selebihnya, dia merasa kesal karena lagak Dava yang begitu santai saat mengatakannya, seolah sebelumnya tidak ada yang mencampakkan dan dicampakkan di antara mereka.

Raut wajah Dava mendadak berubah sedikit serius. “Gue belakangan sadar kalo kemarin itu cuma oleng sesaat. Gue nyesel udah mutusin lo, Shi. Semestinya gue nggak berani datang lagi ke lo setelah semua yang gue lakuin.” Penuturan cowok itu kali ini juga terdengar serius, membuat Sashi sedikit merinding. “But, can I get one more chance? Bisa nggak kita balik kayak dulu lagi? Lo masih sayang sama gue kan, Shi?”

Sashi terpaku diam. Untuk yang satu ini, dia belum latihan menguasai diri. Dia tidak sempat mempersiapkan diri untuk menerima ajakan balikan Dava, padahal sejak awal memang inilah yang dia mau.

“Sashi, please.” Suara Dava terdengar penuh permohonan dan itu hampir membuat Sashi goyah.

Sashi, jangan sumbu pendek! Jangan langsung setuju sama rayuan buaya darat satu ini! Ada bagian dari diri Sashi yang bersuara seperti itu dalam hati. Berkat itu, Sashi akhirnya bisa menguasai diri. Ya, dia tidak akan setuju begitu saja pada ajakan Dava—kendati sejujurnya tebersit secercah keinginan untuk mengiakan ajakan tersebut. Sashi hanya merasa perlu untuk memikirkan hal ini lebih lanjut.

Menuju Tak HinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang