36. Move On

12 4 0
                                    

Perasaan lo ke Kanu masih baru, kan? Masih bisa berubah nggak?
—D. Mahendra

—∞—∞—∞—
35. Move On
—∞—∞—∞—

Saat pertama menginjakkan kaki di kelas, Sashi dibuat bingung dengan tiga temannya yang saling berpelukan. Mereka menyadari kedatangan Sashi dan turut membawa cewek itu ke dalam dekapan. Meski bingung, Sashi tetap menerimanya sembari menebak-nebak apa yang sedang terjadi.

Apakah ini semacam ritual baru mereka sebelum berhadapan dengan musim ujian pekan depan? Biasanya mereka menyambut momen horor tersebut dengan saling menumpuk punggung tangan disertai yel-yel andalan sebagai tanda untuk menyemangati diri. Sashi pikir, mungkin yel-yel itu sekarang terasa kekanak-kanakan sehingga teman-temannya memutuskan untuk menggantinya dengan pelukan hangat.

Akan tetapi, tebakan Sashi itu buyar seketika saat didengarnya isak tangis Windy yang samar. Tidak mungkin kan Windy sampai menangis hanya karena tidak siap menghadapi ujian kenaikan kelas?

Saat Sashi mulai ingin bertanya, Windy lebih dahulu mengurai pelukan mereka dan mengusap air matanya. Cewek berambut ikal sebahu itu pun mengukir senyum terbaiknya, seolah lupa bahwa baru saja wajahnya dibasahi air mata. “Makasih udah mau jadi teman gue. Gue harap walaupun anak-anak lain ingat gue sebagai orang yang jahat, kalian tetap mengenang gue sebagai teman yang kalian sayang.”

Bila mengangguk kecil, menarik ingusnya yang hampir keluar karena ikutan menangis. Mauri juga mengangguk penuh haru dengan wajah merah menahan tangis. Hanya Sashi yang berdiri dan memandang ketiga temannya dengan wajah cengo.

“Shi,” panggil Windy, menghadapkan tubuhnya pada Sashi dengan sorot mata seteduh mungkin, “maaf atas semua hal yang udah gue lakuin ke lo. Gue benar-benar lupa diri dan dikuasai oleh perasaan buruk itu. Maafin gue, ya?”

Sashi menggeleng-geleng pelan. Bukan, dia bukannya tidak mau memaafkan Windy. Hanya saja, ucapan temannya itu terdengar sebagai pertanda atas sebuah kabar buruk. Itu membuat Sashi menggigit bibirnya dengan getir. “Lo kenapa? Lo mau ke mana?” tanyanya rendah.

“Gue nggak bakal di sini lagi setelah musim ujian berakhir,” jawab Windy, berusaha terdengar setenang mungkin supaya tidak menyulut emosi Sashi. “Gue bakal pindah ke luar ko—”

“Apa ini karena masalah waktu itu?” Sashi memotong cepat. Dapat dia rasakan sekarang matanya memanas, pertanda sebentar lagi akan membuncah kristal bening yang cair dari pelupuknya. “Kenapa? Gue udah maafin lo. Gue tetap mau temenan sama lo. Lalu kenapa lo malah mau pergi, Win?”

“Shi,” Mauri mulai menengahi dengan memegang bahu Sashi yang agak bergetar, “ini bukan keputusan yang diambil dengan pikiran pendek. Windy udah berpikir dengan matang dan penuh pertimbangan. Awalnya gue juga nggak terima, tapi setelah dipikir-pikir, dia hanya akan makin tersiksa di sekolah ini karena omongan orang-orang.”

Sashi menatap Mauri tak habis pikir, seakan itu adalah ucapan paling tidak masuk akal yang pernah didengarnya. “Emangnya kenapa harus peduliin mereka? Yang penting itu kan kita. Gue, lo, Bila, bahkan Kanu, Dava, Fabio, dan Neo. Kita semua udah maafin Windy dan nggak pernah judge dia.” Lalu, air matanya mulai merembes seiring dengan adanya gemuruh yang menyesakkan dada. Kabar soal kepergian sang teman terlalu tiba-tiba buatnya—walau sebetulnya ini terhitung penuh persiapan karena Windy mengatakannya beberapa hari bahkan beberapa minggu sebelum pergi.

Windy kembali mengusap air matanya yang kali ini turut mengalir akibat tangisan serta ucapan Sashi. Dia mengulas lagi senyum terbaiknya, memandang Sashi penuh pengertian dengan mata yang tak henti berair. “Gue tau banget soal itu, Shi. Tapi, maaf, maaf banget, gue nggak bisa tetap sekolah di sini. Gue butuh waktu dan ruang yang bisa mendukung gue untuk introspeksi diri, untuk jadi lebih baik. Gue pengin coba suasana baru yang bisa mengalihkan rasa benci gue ke diri sendiri.”

Menuju Tak HinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang