❝Ternyata kamu bisa ketawa selepas itu ya, Nu. Adem dengernya.❞
—S. Nindyani—∞—∞—∞—
34. Perahu Bebek
—∞—∞—∞—Mereka betulan bertemu pada hari Sabtu. Awalnya Sashi mau menganggap ini sebagai kencan keduanya bersama Kanu—yang pertama waktu mereka ke toko buku dan main Timezone di mall. Namun, sepertinya Kanu tidak menganggapnya demikian karena cowok itu ternyata mengajak Sashi ke pusat pemakaman alih-alih pusat perbelanjaan atau tempat bermain.
Kanu terlibat percakapan singkat dengan penjaga TPU yang merupakan seorang pria berusia sekitar 70 tahunan. Mereka sama-sama bicara lewat bahasa isyarat dan Sashi tidak cukup bisa memahami itu. Maklum, kemampuan berbahasa isyaratnya masih sangat kurang. Selama ini Kanu bicara padanya lewat gestur tubuh yang pelan disertai gerakan mulut tanpa suara, tapi kali ini cowok itu cukup lincah, demikian pula dengan penjaga TPU.
Usai bercakap-cakap singkat—sepertinya saling menanyakan kabar atau entahlah, Kanu memimpin langkah memasuki area pemakaman, menuju salah satu sudutnya dan berhenti di depan sebuah makam.
Sashi tidak banyak komentar saat mengikuti cowok itu, tapi setelah melihat nama yang tertera di atas batu nisan, dia refleks bertanya, “Ini mama kamu?”
Kanu mengangguk ringkas atas pertanyaan itu. Dia merogoh paper bag yang dibawanya dari rumah, mengeluarkan dua bungkus bunga tabur yang masih cukup segar. Diserahkannya satu bungkus bunga tersebut pada Sashi, lantas bersama-sama mereka menaburkannya di atas makam. Dia juga membawa sebotol air untuk menyirami makam sang mama supaya terlihat lebih terawat.
“Mama kamu orangnya gimana, Nu?” tanya Sashi usai membantu Kanu membuat makam terlihat lebih asri. “Pasti baik dan pengertian ya, kayak anaknya.”
Kanu tersenyum kecil mendengar itu, lalu mengeluarkan ponsel untuk membalas. “Iya, Mama baik dan pengertian,” ucapnya membenarkan. “Sejak dulu, Mama selalu mau lihat saya punya teman dan main dengan anak-anak lain, tapi saya nggak percaya diri untuk itu. Makanya, saat Neo datang dan jadi teman saya, saya langsung bawa dia ke sini untuk ketemu Mama. Sekarang adalah giliran kamu.”
Ada perasaan terharu dalam benak Sashi membaca penjelasan Kanu. Dia menatap cowok itu penuh arti, lalu berkata rendah, “Mama kamu pasti bangga sama kamu. Kamu berhasil tumbuh jadi anak yang baik dan mewujudkan keinginan mama kamu.”
“Saya nggak akan sampai ke titik ini tanpa kamu. Jadi, makasih, ya. Makasih karena selalu ada di sisi saya dan menemani saya tumbuh jadi pribadi yang lebih baik setiap harinya.”
Sashi tersenyum tulus, kemudian menjawab, “Sama-sama.”
Mereka berada di pemakaman selama setengah jam untuk berdoa dan bercerita singkat. Selepasnya, Kanu mengajak Sashi beranjak, entah ke mana kali ini. Mereka berjalan kaki menyelusuri lorong tempat pemakaman berlokasi sambil melanjutkan cerita soal kehidupan Kanu.
Ternyata Kanu telah menjadi anak piatu sejak usia 10 tahun. Mamanya mesti berjuang melawan kanker payudara selama bertahun-tahun sebelum akhirnya meninggal. Papanya sibuk bekerja di luar kota, sementara Kanu tinggal bersama seorang asisten rumah tangga. Namun, asistennya berhenti sejak Kanu masuk SMP karena ada hal penting yang mesti diurus di kampung halaman. Kanu pun tinggal dan tumbuh sendirian semenjak itu, sampai akhirnya Neo datang. Hanya Neo temannya tumbuh.
Sekarang, teman Kanu bertambah. Ada Sashi, Dava, Fabio, Mauri, Bila, dan Windy. Kanu berterima kasih karena berkat Sashi, dia jadi punya banyak teman.
Setiba di depan lorong untuk menunggu kendaraan umum, Sashi mulai membuka bahasan baru. “Bapak yang di TPU tadi bisa bahasa isyarat?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Tak Hingga
Teen Fiction"Jika manusia adalah bilangan, bilangan apa yang menggambarkan sosok Kanu Aji Samudra menurut lo?" "Negatif satu." "Kenapa negatif?" "Karena saya punya kekurangan." "Sekarang gue kasih lo PR. Cari cara untuk meningkatkan nilai dari bilangan itu. Lo...