23. Perpustakaan

19 4 0
                                    

Lamupy's notes:

Halo, izin nyela dulu ya. Aku nggak tau ini di WP aku aja apa di WP kalian juga. Bab 22, 23, dan 24 itu ketuker-tuker posisinya. Jadi, pastiin kalian baca sesuai urutan bab ya biar nggak bingung. Aku udah coba ganti posisinya, tapi tetep ga bisa huhu. Kalo ada yang tau boleh spill ya caranya T_T

Oiya, sekalian mau reminder. Kalo kalian enjoy sama cerita ini dan udah ngikutin sampai sejauh ini, jangan lupa feedback-nya yaa hehe. It's okay kalo kalian bacanya offline, tapi pas udah online jangan lupa pencet bintang-bintangnya yapss wkwk.

Oke deh, sekian dari aku. Maaf ganggu karena ngasih author's notes di awal cerita. Selamat membacaaaa! 😊🙏

———————————

Itu bukan suka namanya. Lo cuma memelihara obsesi dan kebencian!
—F. Daniswara

—∞—∞—∞—
23. Pelarian
—∞—∞—∞—

Fabio menunggu di belakang UKS dengan perasaan tak sabar. Dia telah menghubungi seseorang untuk menemuinya hari ini. Ada hal penting yang perlu dipastikannya. Hal itu berhubungan erat dengan surat yang sedari tadi dipegangnya, surat yang diterimanya beberapa hari lalu sebagai titipan untuk dibacakan saat siaran Ligaradio.

Seorang siswi tiba tidak lama setelah Fabio sampai di tempat janjian mereka, yakni belakang UKS. Siswi itu tampak ceria awalnya, mengira Fabio memintanya bertemu untuk berubah pikiran soal ajakan waktu itu. Namun, ternyata zonk.

“Jujur sama gue, lo yang kirim surat ini, kan?” Fabio mengangkat surat berkertas gradasi ungu di tangannya ke depan wajah si siswi. “Gue udah cek CCTV di dekat tangga lantai tiga. Cuma lo satu-satunya orang yang datang sepagi itu ke sekolah.”

Siswi itu sejenak kaget, tetapi tidak menyangkal. Alih-alih, satu ujung bibirnya justru tertarik, menyeringai. “Pantesan gue cari di kotak surat nggak ada lagi. Untung gue punya salinannya.”

“Lo pikir gue bakal sukarela biarin surat ini disiarin? Ligaradio bukan tempat buat nampung hoax atau ungkapan kebencian kayak gini,” balas Fabio, terdengar cukup tegas dan berwibawa.

“Itu bukan hoax!” Siswi itu berseru tertahan. “Lo tanya aja sama Sashi, dia nggak akan nyangkal.”

“Apa pun itu, tetap nggak bisa dibenarkan dengan bikin surat kebencian kayak gini. Kekanakan, tau nggak? Lo udah bikin hidup seseorang hancur. Lo ada masalah apa sih sama Sashi?”

Siswi itu terlihat berusaha menahan diri agar tidak kelepasan berteriak karena kini Fabio seakan menyudutkannya. “Gue nggak suka sama dia. Gue benci lihat dia bahagia.”

“Tapi kenapa? Lo itu temannya, teman dekatnya.”

“Karena gue suka sama lo!” Akhirnya siswi itu kelepasan berseru. Untungnya tidak ada orang di sekitar sini sepagi ini, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan. “Gue suka sama lo, Fabio. Tapi, lo malah seolah tutup mata dan tutup telinga sama keberadaan gue. Yang lo lihat cuma Sashi, Sashi, Sashi. Gue muak! Dan gue lebih muak sama Sashi yang udah nolak lo dan bersikap seolah nggak ada beban, sementara lo masih mengharapkan dia kayak orang bodoh. Gue muak sama kalian!”

“Maksud lo, lo bertindak sampai sejauh ini karena gue?” Fabio mencoba menarik satu kesimpulan dari pengakuan siswi itu.

“Ya, karena lo. Sekarang lo bisa bayangin kan sebesar apa rasa suka gue ke lo?”

Menuju Tak HinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang