26. Kencan Ganda

25 4 3
                                    

Jatuh dan bangun itu wajar dalam kehidupan ini. Yang nggak wajar itu adalah kamu jatuh, tapi saat ada peluang untuk bangun, kamu nggak mau menggapainya. Itu baru pengecut.
—S. Nindyani

—∞—∞—∞—
26. Kencan Ganda
—∞—∞—∞—

“Kapan kamu mulai libur sekolah?”

Kanu menuliskan jawaban atas pertanyaan itu pada salah satu halaman notebook, lantas menunjukkannya pada Aira untuk minta dibacakan.

“Dua bulan lagi,” kata Aira. Sejak tadi dia yang duduk di bangku tengah mobil bertugas menjadi perantara komunikasi Kanu dan Aji, papa mereka yang kini fokus menyetir.

Hari ini adalah hari Sabtu. Aira betulan mengajak Kanu movie date di bioskop—walaupun bukan kencan ganda bersama Sashi dan Neo seperti yang diharapkannya kemarin. Aji bersedia mengantar mereka karena memang urusannya di kota ini sudah rampung.

“Sebentar lagi kamu tujuh belas tahun,” ungkap Aji, tentunya dengan mata yang tertuju pada jalanan di depan sana. Ucapan pria itu terdengar seperti kalimat pernyataan, jadi Kanu hanya membalas lewat anggukan yang bisa dilirik oleh sang papa di sebelahnya. “Dua bulan lagi, Papa minta Om Heru buat ajarin kamu nyetir mobil. Kalau udah lancar, buruan bikin SIM dan bawa mobil ini ke rumah kamu. Nggak enak kalau mobilnya terus nganggur di bagasi Om Heru.”

Kanu lagi-lagi mengangguki itu. Dia tidak punya alasan untuk menolak. Lagi pula, dia memang tidak ingin menolak. Memiliki kendaraan pribadi adalah salah satu impiannya. Kanu bahkan punya tabungan untuk membeli motor. Namun, berhubung Aji menawarkan mobil lama yang masih cukup bagus ini, Kanu tidak mau melepasnya begitu saja.

Hening berlangsung sejenak setelah Kanu dan Aji kompak tidak lagi bercakap-cakap. Aira tidak tahan dengan keterdiaman seperti ini, jadi dia bersuara, “Kak Kanu kenapa nggak mau ikut ke Batam?”

“Rumah Kakak ada di sini. Makam Mama ada di sini.”

Itu adalah dua kalimat jawaban Kanu yang membuat darah Aira sedikit berdesir. Cewek itu termangu selama beberapa saat. Ada hal aneh yang sedang melingkupi dirinya saat ini. Itu semacam sekat tak kasatmata yang membatasi dirinya dan Kanu.

Mama versi Kanu dan Aira ternyata berbeda. Selalu berbeda sepertinya. Selama ini, hanya Aira yang menganggap Kanu seperti saudara kandungnya sendiri. Aira lupa bahwa sejatinya mereka tidak terikat dalam hubungan darah yang sama.

Mobil yang dikemudikan Aji berhenti di depan mall. Hal itu mengurai keterdiaman antara Kanu dan Aira. Usai mengucapkan terima kasih lewat bahasa isyarat yang dipahami sang papa, Kanu pun keluar dari mobil disusul Aira.

“Kak Kanu ... masih belum bisa terima aku dan Mama, ya?”

Itu adalah pertanyaan Aira yang disuarakan dengan rendah saat mereka berjalan berdampingan memasuki mall.

Kanu mengernyit bingung. Dari mana Aira bisa menyimpulkan demikian? Selama ini, dia berusaha bersikap seolah bisa menerima kehadiran Aira. Dia juga berusaha menyembunyikan fakta bahwa dulu dia tidak merestui hubungan papanya dan mama Aira.

“Nggak papa kok kalau belum. Makanya ... makanya aku berusaha buat selalu dekat sama Kakak selagi ada kesempatan. Aku nggak mau suatu saat nanti, saat kita ketemu lagi, Kakak lihat aku sebagai orang asing dan kita udah terlalu telat untuk jadi sedekat ini.”

Menuju Tak HinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang