29. Rayuan Murahan

19 4 0
                                    

Kalau kamu betulan suka sama dia, tunggu beberapa tahun lagi. Kamu juga harus memantaskan diri karena saya nggak akan restui kamu begitu aja.
—K.A. Samudra

—∞—∞—∞—
29. Rayuan Murahan
—∞—∞—∞—

Hari ini Kanu membolos beberapa mata pelajaran. Tepatnya, cowok itu datang ke sekolah hanya untuk mengumpul PR, lantas pergi lagi karena mesti mengantar Aira dan papanya ke bandara. Dia akan kembali lagi ke sekolah selepas dari bandara.

Berhubung sosok Kanu dikenal sebagai salah satu murid berprestasi di kelas dan telah dua kali memenangkan lomba tingkat nasional bersama Neo, mudah saja bagi guru mengenalinya. Alhasil cowok itu mendapatkan free pass dari guru piket untuk meninggalkan sekolah pagi ini.

Pagi ini, Sashi sedang dihukum mengepel bagian teras koridor utama akibat terlambat. Disadarinya kehadiran Kanu yang hendak melintas di depannya. Cewek itu tersenyum, melambaikan tangan dengan ramah yang dibalas Kanu dengan cara yang sama.

“Mau ke mana?” tanya Sashi. Sedari tadi dia memperhatikan Kanu yang meminta izin dengan guru piket di meja administrasi tak jauh dari posisinya, hanya terpisahkan sekat berupa pintu kaca. Namun, dia tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan sampai akhirnya Kanu diizinkan meninggalkan sekolah begini.

Lewat gerak tangan dan mulut yang diharapkan bisa dipahami Sashi, Kanu mengatakan, “Antar Aira.”

“Oh? Aira mau ke mana emang?”

“Pulang,” jawab cowok itu, masih lewat bahasa isyarat.

Sashi manggut-manggut paham, melempar senyum perpisahan pada Kanu. “Ya udah, hati-hati, Nu.”

Kanu mengangguk, lantas segera melanjutkan langkah meninggalkan sekolah. Di depan gerbang, sudah terpatri mobil milik papanya yang dikemudikan oleh pamannya, Heru.

Aira menyambut kehadiran Kanu dengan antusias di sebelahnya. Cewek itu lalu berkata, “Aku agak terharu Kak Kanu rela ninggalin sekolah demi aku.”

Kanu tertawa geli, mengeluarkan ponselnya untuk membalas. “Bukan demi kamu. Demi Papa.”

“Masa?” sahut Aira skeptis. Gadis kecil itu pun memajukan tubuh supaya lebih dekat dengan Aji, sang papa, yang duduk di bangku depan. “Pa, kata Kak Kanu dia bolos sekolah demi Papa.”

Aji tentu saja tertarik untuk menoleh pada putranya di belakang sana. “Beneran, Nu? Kirain kamu masih perang dingin sama Papa.”

Kanu memalingkan wajah ke jendela mobil, pura-pura sibuk memperhatikan jalanan kota yang memang selalu macet pagi-pagi begini. Aira dan Aji mendengkus geli, tidak melanjutkan kegiatan menggoda Kanu.

Namun, tentu saja Aira dengan sejuta celotehannya tidak berhenti sampai sana. Cewek itu kembali angkat suara beberapa saat kemudian. “Kak Sashi tadi lagi dihukum, ya? Kok dia ngepel teras sekolah gitu?”

Kanu mengangguk, berusaha untuk terlihat santai saat Aira menyinggung Sashi. Bisa gawat kalau Aira sampai kelepasan bilang mengenai hubungan Kanu dan Sashi.

“Neo apa kabar, Nu? Papa belum sempat ketemu sama dia pas ke sini,” kata Aji, mengurai suasana tegang yang meliputi Kanu akibat bahasan mengenai Sashi tadi.

Kanu mengutarakan jawaban bahwa Neo baik-baik saja lewat bahasa isyarat yang memang telah dipahami papanya dengan fasih.

“Papa bersyukur karena ada dia yang temani kamu di sini. Sampein terima kasih Papa ke dia, ya.”

Menuju Tak HinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang