Warga Baru

4.1K 238 53
                                    

Pagi hari itu, ada dua buah truk berjajar di depan sebuah rumah. Ada seorang wanita melihat dari pekarangan rumahnya. Pagar rendah yang memisahkan trotoar dan pekarangan rumah si wanita membuat ia bisa melihat kegiatan tetangga barunya. Merasa sudah cukup memperhatikan, kini si wanita berjalan menuju tetangga barunya. 

"Halo," sapanya dengan tangan terulur untuk berjabatan tangan. 

Wanita yang terlihat muda itu tersentak akan sapaan tiba-tiba. Ia segera menurunkan kardus yang dibawa untuk balas menyapa. Tangannya kemudian ia bersihkan dengan cepat di celananya, bermaksud untuk menerima uluran tangan yang tersodor ke arahnya.

"Saya Winnie, rumahnya di depan situ," ujarnya saat uluran tangannya sudah diterima dengan baik. 

"Ohh. Saya Hedia, Mbak. Semoga kita bisa bertetangga dengan baik, ya," balas si wanita yang tadi memegang kardus. Senyum manis tidak lupa ia sematkan di wajahnya untuk membuat kesan baik.

Tiba-tiba saja, wanita yang mengenakan pakaian olahraga berhenti di hadapan mereka. Ia menggantungkan headphone yang dikenakannya ke leher jenjangnya. 

"Tetangga baru, ya?" tanya si wanita dengan napas agak terengah. Maklum, sedang berolahraga pagi mengitari jalan Rengganis dan sekitarannya. 

Hedia menganggukan kepalanya dan menjulurkan tangannya. "Saya Hedia, Mbak. Semoga kita bisa jadi tetangga yang baik, ya," ujarnya dengan sopan dengan senyum menghiasi wajahnya.

"Aduh, tangan aku keringetan. Nanti habis aku selesai olahraga dan mandi, aku ke rumah kamu buat kasih kue deh," tolaknya dengan tidak enak. Tidak lupa tangannya terangkat untuk menunjukan telapak tangannya yang berkeringat. 

"Eh, gak usah, Mbak. Harusnya aku yang kasih makanan sebagai perkenalan," tolak Hedia. 

"Santai aja, Mbak Hedia, gak ngerepotin sama sekali. Mbak Kanaya tuh emang suka bikin kue, enak semua lagi," sela Winnie. 

Wanita yang mengenakan pakaian olahraga itu menjentikan jarinya. "Oh, iya, sampe lupa ngenalin diri aku. Panggil aja Mbak Kanaya, ya," ujarnya dengan begitu lembut dan senyum berbentuk hati yang begitu berseri. 

Hedia mengangguk sekilas dan tersenyum lagi. "Iya, Mbak."

"Ini tetangga baru yang kata Telma itu, bukan?"

Ketiga wanita itu kompak menoleh ke arah sepasang suami istri yang mengenakan pakaian olahraga juga. Habis berolahraga mengitari Jalan Rengganis dan sekitarnya. 

Hedia mengangguk dan tersenyum ke arah sepasang suami istri itu. Tangannya kemudian terulur untuk bersalaman. "Hedia, Mbak. Salam kenal. Semoga kita bisa jadi tetangga yang baik, ya."

Si wanita segera mengambil handuk yang berada di genggaman suaminya. Mengeringkan tangannya, dan kemudian menerima uluran tangan tersebut. "Aku Taliya, Mbak Hedia. Ini suami aku, Julio." Taliya kemudian menunjuk lelaki di sebelahnya saat mengenalkan suaminya. 

Mereka kemudian mengobrol singkat, sampai kelimanya tidak sadar jika ada sebuah mobil datang mendekati mereka. 

"Mbak Hedia."

Hedia menoleh dan tersenyum ke arah wanita yang sedang menggendong bocah berusia satu tahun. "Mbak Telma," balasnya menyapa. 

"Aduh, maaf banget aku gak bisa nemenin dari pagi. Anak aku rewel banget, lagi demam. Ini baru dari rumah sakit,"ujar Telma yang kemudian cupika-cupiki dengan Hedia. 

Membicarakan Telma, wanita itu yang membuat rancangan rumah yang kini ditempati oleh Hedia. Karena itu, keduanya kenal satu sama lain. Hedia pun kenal dengan Johnson. 

"Mbak Hedia tinggal sendiri?" tanya Winnie penasaran. Ia tidak melihat orang lain selain Hedia dan tukang yang membereskan barang bawaan Hedia. 

Hedia menggelengkan kepalanya dan tersenyum sopan. "Sama suami, Mbak. Cuman dia ada panggilan mendadak dari tadi subuh ke rumah sakit, jadi gak bisa nemenin beresin barang," jawabnya dengan sopan. 

"Suami Mbak Hedia dokter?" tanya Taliya dengan mata berbinar takjub.

"Iya, Ya. Dokter ahli bedah saraf," jawab Telma, dan Hedia pun hanya tersenyum menanggapi hal tersebut.

"Adek aku lagi sekolah spesialis. Apa sih, aku gak ngerti juga, yang penting aku udah bayar sekolahnya, tinggal dia sekolah yang bener terus jadi dokter," timpal Taliya, dan Hedia menganggukan kepalanya. Ia pun sama tidak mengerti masalah kedokteran dengan Taliya. 

"Nanti boleh ya nanya-nanya ke suami Mbak Hedia kalau adek aku kebingungan," lanjut Taliya. 

"Iya, nanti aku bilangin ke Mas Marga," balas Hedia dengan sopan. 

Julio daritadi hanya menjadi pengamat saja. Sudah terlalu lama, ia punya pekerjaan yang harus diselesaikan, begitu pun dengan Taliya. Lelaki itu menggerakan sedikit tangan istrinya. 

"Li," bisik Julio sebagai kode jika mereka harus pulang.

Beruntung Taliya mengerti maksud suaminya. Ia pun segera pamit undur diri. Dari Taliya, satu persatu warga Jalan Rengganis pun pamit undur diri. Begitu juga dengan Telma dan Johnson yang sedang menggendong lelaki berusia satu tahun. 

Hedia menghela napas pelan saat tetangga barunya sudah meninggalkannya. Ia pun segera melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Di perumahan yang ditempatinya, bisa dibilang tidak ada sekat antar rumah. Hanya pagar rendah atau tidak ada pagar sama sekali sebagai tanda batas teritorial. Lagipula ada tanah sekitar 2 meter sebagai pemisah antar rumah. Dapat dipastikan tidak ada rumah yang temboknya menempel satu sama lain. 

Kepala Hedia menoleh ke samping saat melihat seorang ibu dan gadis remaja keluar dari rumah dengan keadaan ribut. Lebih tepatnya sang Ibu yang terus mengomel dan si gadis yang diam saja. 

"Untung aja sekolah kamu masuk jam 9 pagi. Coba kalau masuk jam 7 pagi, ketinggalan berapa pelajaran kamu?"

Hedia bisa mendengar samar apa yang dikatakan sang Ibu kepada anaknya. Mata Hedia tidak sengaja bertabrakan dengan mata Si Ibu. Ia segera mengangguk sebagai sapaan. Raut wajah si Ibu pun seketika berubah menjadi sangat ramah. 

"Tetangga baru, ya? Aduh, maaf banget ya, pagi-pagi malah bikin ribut. Saya Mirna," ujar si Ibu dari pintu mobil yang sudah terbuka untuk dimasuki. 

Hedia terkekeh. "Gak apa-apa, Bu. Saya Hedia," balasnya mengenalkan diri juga.

Mirna menganggukan kepalanya mengerti. "Kita kenalannya lanjut nanti sore, ya. Ini anak saya, Anna, udah telat masuk sekolah. Harus buru-buru dianter."

Hedia segera menganggukan kepalanya mengerti. Ia pun menyilakan Mirna untuk segera pergi mengantarkan anaknya sekolah. Tangannya pun melambai ke arah mobil Mirna yang langsung melesat pergi begitu saja setelah membunyikan klakson. Helaan napas keluar begitu saja dari mulut Hedia. Ia lelah sekaligus lega. Dirinya kira, perumahan yang akan ia tempati dengan suaminya akan memiliki tetangga yang apatis, dan ternyata tidak. Untuk saat ini, Hedia merasa senang.




TBC





hai peeps, Hugo here! 🐣

sudah kangen aku kah kalian?

ini universe dari Dicari: Suami yaa. jadi, buat yang nemu cerita ini diharapkan untuk baca Dicari: Suami dulu


see you next chapter / on other story? 🤷🏽🤷🏽🤷🏽

Desperate Housewives  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang