TLL
The Light Of LifeMalam, bulan yang seharusnya menampakan wujudnya menerangi malam tampak enggan menjalankan tugasnya. Menarik kegelapan semakin dalam. Seolah ingin melakukan pembantaian abadi jiwa-jiwa tandus yang digerus sepi.
Cahaya-cahaya kecil menjadi satu-satunya penerangan bagi para prajurit perkasa. Berbaris rapi menunggu perintah. Raja bertubuh mungil itu berdiri di hadapan mereka. Entah apa yang akan dikatakannya, ini memang hanya sebatas formalitas semata.
"Jangan kalah, Raja Persia mengancam tidak akan memberi hadiah yang kuinginkan jika kalian kalah. Jadi jangan coba-coba kalah, itu akan memalukan. Mengerti". Arshya yang berdiri disamping Aryan sedikit terkekeh pelan.
Aryan bergeser pada Arshya. "Jadi kita akan segera ke ruang rahasia dan melihat monyet yang akan menjadi istriku?" Arshya masih saja merasa marah saat Aryan mengatakan monyet pada bayi.
"Yah" Malas mendebat. Untuk pertama kalinya Arshya mengalah pada Aryan. Meski bocah itu akan segera kecewa karena dia harus menunggu lama untuk melihat bayinya. Entah mengapa Arshya masih tidak ikhlas jika harus memberikan putri cantiknya pada bocah yang besarnya, dia rasa akan menjadi pria mesum. Bisa-bisa putrinya kelak bocah itu permainkan habis-habisan.
Mau bagaimana lagi, memang tidak ada jalan keluar atas masalah yang ditimbulkan Asghar.
Ratusan kapal tempur yang akan mengangkut puluhan ribu prajurit sudah siap berlayar. Aryan langsung menaiki kapalnya. Tampak sangat tidak sabar ingin melihat ruang rahasia impanya.
Arshya mulai beranjak, menaiki kapalnya. Akan segera berlayar bersama semua pasukanya, menuju Qeshm, untuk mempersiapkan perang. Ia dan Zian sudah berjanji akan bertemu disana.
Jaeer mendekat pada Arshya saat pria itu sudah menaiki kapalnya. "Sebenarnya apa yang terjadi tuan?" Arshya menoleh dan tampak berpikir mengingat kejadian beberapa waktu lalu saat di Qeshm.
Pasukan Ottoman akhirnya tiba, setelah berhari-hari berlayar mereka pun mendarat di Qeshm. Aryan yang sudah turun dari kapal beserta semua orang disana tampak sibuk.
* * *
"Shava" panggil Sael, Shava menoleh. Gadis yang tengah mengendap-endap di antara pilar itu menahan nafasnya yang amat terasa memburu. Perutnya yang sudah memasuki bulan kelima tampak sudah mulai terlihat.
Asghar memang pada akhirnya luluh. Terlebih saat melihat kondisi Shava yang semakin membaik. Namun tetap saja, gadis itu seperti orang penyakitan yang bahkan tidak diizinkan turun dari tempat tidur.
"Mau pergi kemana hem" Shava kaget sampai hampir terjatuh. Beruntung tangan kekar itu setia menopangnya. "Lihat ini, kau membahayakan perutmu lagi" Shava berdiri, melepaskan tangan yang masih enggan beranjak dari pinggangnya.
Shava menunduk. "Dia sekarang mengidam ingin melihat kuda" ujar Sael yang sebenarnya mengikuti Shava sedari tadi. "Kuda?" Asghar membeo sebelum akhirnya tersenyum senang mendengarnya.
"Baiklah, biar aku antar hem".
* * *
"Namanya Aisyah, sepertimu dia juga tengah hamil" Shava menatap Asghar sebelum akhirnya tersenyum dan mengusap surai kuda wanita seputih susu itu dengan lembut.
"Anak-anaknya pasti akan cantik seperti ibunya" Asghar sedikit tertawa mendengarnya. Ia bangkit dari posisi duduknya dan duduk di belakang Shava, memeluk gadis itu sambil bersandar pada punggung kecilnya.
Sesekali Asghar mengelus perut buncit Shava lembut.
"Jangan melanggar janjimu lagi" Shava terdiam. Hatinya entah mengapa terasa begitu pedih. "Tenang saja, aku tidak akan melanggarnya kali ini. Setelah bayiku lahir, aku akan secara sukarela menjadi Ratumu" Asghar tersenyum, semakin memperdalam pelukannya. Menghirup kuat-kuat aroma Shava.
Dalam hidupnya ia tidak pernah merasa sebahagia dan sesenang ini. Shava tidak pernah lagi menolak kehadiran nya, menerima Asghar dengan tangan terbuka. Gadis itu tahu keadaan luar istana cukup rusuh, melarikan diri hanya akan membahayakan dua nyawa dalam perutnya. Terlebih kondisi Shava bisa terbilang lemah meski semakin membaik.
Gadis itu sempat berjanji pada Asghar bahwa kondisinya akan membaik dalam satu bulan dan syukurnya hal itu terjadi. Hingga Asghar tidak perlu menggugurkan kandungan Shava. Bahkan mereka membuat kesepakatan.
Sebisa mungkin Shava tidak memikirkan Arshya. Gadis itu tahu betul kondisinya akan langsung anjlok saat memikirkan pria yang begitu dirindukannya.
Tentu Shava merasa menggila saat mendengar gosip yang beredar bahwa Arshya sudah dibunuh dan mayatnya dibuang sampai tidak ada yang tahu kondisinya. Andai tidak ada nyawa yang bergantung padanya, Shava mungkin sudah menyerah dalam hidup sedari lama.
Shava amat sadar, dia tidak pernah menghargai hidupnya sendiri.
"Kau tidak masalah jika aku melahirkan anak ini? Kau tidak akan membuangnya atau menukarnya bahkan membunuhnya saat bayi ini keluar bukan?" Asghar menahan tawanya. Masih enggan melepas pelukan sepihaknya.
"Aku belum memikirkan hal itu" Shava berbalik, menatap Asghar tidak suka. Asghar tidak tahan dan tertawa terbahak-bahak karenanya. "Kau pikir aku sekeji itu? Lagipula jika kau bahagia karena kehadiran mereka maka aku akan bahagia melihatmu bahagia, selalu sesederhana itu kau tau" Shava tertunduk, sesaat merasa lega.
Lengan Asghar terulur, menarik cadar Shava. Tersenyum melihat wajah Shava yang masih seberseri biasanya. "Saat hamil kau terlihat semakin cantik" Shava berdecak kesal, "Maksud semakin gendut?" Asghar kembali tertawa dibuatnya.
Tiba-tiba suasana terasa amat canggung. Asghar mendekat, merasa tidak tahan melihat bibir merah menggoda di hadapannya. Entah karena apa Asghar merasa Shava terlihat lebih manis dan menggemaskan dari biasanya. Mungkin karena bobot tubuhnya semakin bertambah, dia jadi tidak terlihat sekurus sebelumnya.
Bibir mereka semakin dekat, nafas Shava terdengar memburu. Asghar tahu gadis itu sedikit gemetar, namun kali ini ia ingin mencoba tidak peduli.
Sampai tepat sebelum bibir mereka bersentuhan Shava memundurkan kepalanya. Mengerjapkan matanya, binggung hendak berkata apa.
Asghar memang kecewa, namun sadar dia tidak boleh terlalu memaksa Shava.
"Maaf" bisik Shava pelan. Asghar menyentuh surai Shava lembut. "Tidak apa, aku akan menunggu sampai kau siap. Tapi setelah menjadi Ratuku jangan harap aku akan menunggu hem" Shava hanya bisa tertunduk dan kembali menyentuh surai Aisyah yang tertidur di dekatnya.
Arshya maafkan aku.
HegaEca
VOTE + COMMENT
KAMU SEDANG MEMBACA
The Light Of Life [TAMAT]
Ficción histórica(SUDAH TERBIT) "Sebagai budak, kau harus lakukan apapun perintahku jadi cepat lepas pakaianmu itu, tentunya kau tidak tuli bukan?" mata gadis itu menyipit mendengar perkataan pria dihadapanya. "Kau miliku" dua kata sederhana namun bermakna banyak ba...