TLL 30
The Light Of LifePuing kapal yang hancur tampak masih berserakan, beberapa mayat mengapung meski mungkin ada yang tenggelam atau terbawa ombak.
Raja Arshya terdiam, mungkin binggung ingin mengatakan apa. Pria itu sedikit menghela nafas dan memejamkan matanya.
Jaeer menyadari, mungkin saat ini tuanya tak mampu memberikan interupsi. Karenanya ia sedikit berjalan ke arah para prajurit dan memberi perintah, mewakili sang tuan. "Mungkin kapal ini hancur sekitar dua atau tiga hari lalu, coba kalian periksa ke dasar laut. Setidaknya tubuh mereka harus dimakamkan dengan baik" para prajurit mengerti dan langsung bersiap.
Sael yang berdiri di dekat tiang sayap kanan kapal masih menatap puing-puing kapal, matanya semakin sayu seiring waktu.
Kali ini dia berandai-andai jika dirinya tidak membuat Shava membantu Putri Carla, atau andai dirinya dari awal tidak membantu Putri Carla.
Andai dirinya tidak menyembunyikan semua kebenaran itu, andai dirinya juga tidak memberi saran tentang rencana Putri Carla.
Mungkin saat ini Shava masih bersamanya, melakukan tindakan-tindakan menjengkelkan dan sesekali mengeluh karena lelah.
Belum lagi keadaan Pangeran Asghar yang tampaknya masih keritis. Entah dia bisa bertahan atau tidak. Sungguh semuanya memang pantas disalahkan pada dirinya.
Pikiran Sael semakin kacau. Gadis itu melihat ke air namun tanpa sadar hampir masuk kedalamnya. Jaeer meraih lengan Sael menatap gadis itu yang tampak masih tidak sadar akan tindakannya.
"Hey, jangan menyusahkan. Aku tidak mau menambah beban mayat di kapal ini". Ucapan Jaeer tidak mendapat jawaban. Sael masih terdiam dengan mata yang bahkan belum berkedip sedari tadi.
Jaeer menyadari dan tau Sael pasti akan menyalahkan dirinya hingga tanpa ragu Jaeer menampar keras gadis itu, membuatnya menatap sang pelaku lalu mulai menangis keras memaki tindakan Jaeer mengesampingkan derajat pria terhormat itu.
"Yah-yah terus menangislah karena tamparanku bodoh". Jaeer meninggalkan Sael yang masih menangis tanpa henti hingga gadis itu terduduk karena tak merasakan kehadiran tenaganya lagi.
Raja Arshya duduk di kamarnya dengan tangan yang menopang kepala. Jaeer yang masuk langsung menghampiri dan berdiri disamping sang tuan.
"Tidak ada tubuh Putri Carla dan pria itu, tuan". Arshya hanya mendengar tanpa merespon. "Tapi mengenai tubuh Shava—" Arshya menoleh cemas namun tidak ingin mendengar hal buruk mengenai gadis itu.
"Maaf" ucapan Jaeer membuat Arshya menghela nafas dan menutup matanya. "Maaf tubuhnya juga tidak ditemukan" mendengar itu Arshya langsung bangkit dan menatap Jaeer yang seolah ingin tertawa dengan reaksi tuanya sendiri.
"Jika anda ingin menangis agar lebih tenang, saya bisa menampar anda tuan". Arshya berjalan keluar namun terhenti dan menoleh. "Yah dan setelah itu aku akan memenggal kepalamu" ujarnya yang langsung berlalu pergi meninggalkan Jaeer yang masih tersenyum.
Sael berdiri dihadapan Arshya yang baru keluar ruangannya. Gadis itu menunduk bukan karena takut melainkan tengah menenangkan dirinya sendiri.
Arshya menatap namun tampak enggan bertanya. "Tuan, hamba ingin berbicara" Arshya langsung berbalik dan masuk keruanganya lalu mengisyaratkan Jaeer yang ada di sana untuk segera keluar ruangan.
Sael yang mengikuti Arshya dari belakang tampak masih berdiri di depan pintu hingga Arshya mengisyaratkan tangannya untuk memperbolehkan Sael masuk.
Sael mengangkat wajahnya menatap sang Raja yang duduk di kursinya dengan tatapan datar. "Putri Carla pernah mengatakan bahwa dia akan menuju perairan Asia, tapi mengigat kapal yang tampaknya diserang di perairan ini saya pikir dia sama sekali tidak melanjutkan perjalanannya". Arshya tersenyum mendengarnya, gadis itu baru saja mengakui pengkhianatannya sendiri.
"Kemungkinan mereka masih hidup memang kecil tapi hal itu juga tidak menutup kemungkinan itu sendiri. Perairan ini dekat dengan bangsa Arab dan saya pikir tidak ada salahnya mencari ke beberapa kerajaan sekitar". Sael akhirnya bisa bernafas lega, meski mungkin setelah ini kepalanya akan terpisah dari tubuhnya.
"Bagaimana bisa kau menghianati temanmu sendiri?, ayahmu mati karena berada di sisi temanya sedangkan kau membiarkan temanmu mati? Kalian sungguh berbeda". Sael terteguh jantungnya berdegup kencang, matanya memanas. Sayangnya semua yang dikatakan Raja itu benar.
Bagaimanapun juga Sael tidak akan berbohong pada dirinya sendiri. Memang benar, Shava seperti ini karena dirinya, sekali lagi gadis itu mengakui keburukannya. Dirinya terlalu egois untuk melepas Shava, dirinya terlalu serakah ingin bertemu gadis bodoh itu meski hanya sekali lagi.
"Hamba akan menerima hukumannya setelah Shava ditemukan, hamba tidak akan lari tuan". Sael membungkuk dan hendak berbalik sebelum matanya menangkap sebuah buku yang tidak asing baginya.
"Pulchritudo Lucis?" Raja Arshya menatap Sael. Tidak banyak yang mengetahui buku itu, bukan hanya karena menggunakan bahasa Latin, tapi karena sulitnya mendapatkan buku itu.
"Darah, bukankah itu lambang kejujuran?" Lagi, bibir Sael bergerak dengan sendirinya. Tubuhnya mungkin sedikit terguncang dengan banyaknya beban yang ditanggungnya. Namun kali ini berbeda--.
"Anda sudah membaca series ke tiganya?". Tanpa sadar pertanyaan itu terlontar kembali dari mulut Sael. Raja Arshya bangkit berjalan menuju Sael dan meraih buku di lengan Sael. "Aku belum memilikinya" Sael terteguh matanya membulat menyadari sesuatu.
"Tidakkah anda harus memeriksa rak buku anda?" Sael kehilangan pengendalian dirinya, tubuhnya sedikit lemah menyadari suatu hal yang mungkin akan menjelaskan sedikit kebenaran mengenai ayahnya.
Sael tersadar membungkuk dan berlalu pergi. Raja Arshya hanya memperhatikan namun lagi-lagi enggan bertanya karena mungkin jawaban yang diterimanya tak akan sesuai harapan.
Akhirnya pria itu duduk dan membuka halaman ketiga dimana ada garis merah pada halaman nomer tiga tersebut.
Buku ini, buku yang diberikan ayah Sael kepadanya. Kali ini, Arshya malah semakin menambah beban pikiranya.
Jika diingat-ingat. Perdana Mentri dan Mentri Kehakiman yang tidak lain adalah ayah Shava dan Sael juga memiliki buku ini. Di hari dirinya mendapatkan buku ini kedua orang itu tampak tersenyum dan mengatakan hal bodoh seperti "hamba takut tidak bisa membaca series terakhirnya". Arshya tanpa sadar mendengar kalimat dua orang itu yang cukup sering mereka ucapkan.
Seolah tau mereka akan segera mati. Seolah tau nyawa mereka akan segera terenggut. Seolah tau masa hidup mereka sudah tak lama lagi.
Mungkin jika mengigat dan memperhatikan perilaku, kesetiaan dan sifat perdana Mentri dan Mentri Kehakiman itu cukup mustahil untuk melakukan pemberontakan.
Menguras habis semua kekayaan kerajaan. Mengosongkan semua gudang kekayaan bukan hanya di istana tapi di seluruh pangkalan daerah.
Menyembunyikan harta itu dan mengundang kehancuran kerajaan. Raja Arshya masih tidak paham dengan jalan pikiran kedua orang itu.
Semua ini terlalu rumit dan terlihat bodoh. Mengapa tidak? Karena sekali berpikir pun tindakan mereka ini akan segera ketahuan tanpa mereka punya waktu untuk menikmati semua harta yang mereka curi tersebut.
Jadi tindakan ini sama saja dengan tindakan bunuh diri. Namun untuk orang secerdik Perdana Mentri dan sebijaksana Mentri Kehakiman tindakan yang mereka lakukan benar-benar bodoh.
Raja Arshya akhirnya kembali teringat ucapan Sael.
"Memeriksa rak buku?".HegaEca
KAMU SEDANG MEMBACA
The Light Of Life [TAMAT]
Ficción histórica(SUDAH TERBIT) "Sebagai budak, kau harus lakukan apapun perintahku jadi cepat lepas pakaianmu itu, tentunya kau tidak tuli bukan?" mata gadis itu menyipit mendengar perkataan pria dihadapanya. "Kau miliku" dua kata sederhana namun bermakna banyak ba...