Rumah sebuah tempat pulang, transaksi berupa penerimaan dan menerima suka duka kebahagian maupun luka.
☔☔☔Ketika benih bunga tumbuh di atas rumah baru Pelangi Anjani, Haysel datang berkunjung membawa segengam krisan putih, berjongkok, menaruhnya pada buket mawar putih sebelahnya.
Bercerita mengenai bahwa butuh waktu begitu lama baginya menerima banyak hal menemukan jalan pulang, berkata bahwa air mata mama Pelangi baru kering lusa kemarin.
Seragam sekolah berbalut kemeja kotak-kotak, rambut yang mulai kecoklatan, manik cerah madu, kini bisa menampilkan senyum lebar. Tas besar gitar dipunggung terlihat begitu berat.
"Hari ini cerah ya, Gi?" tanyanya menatap jauh langit membawa awan berpetualang.
Hari yang seharusnya menjadi hari kelulusan mereka bersama-sama, alih-alih merayakan di gedung menggunakan setelan formal. Haysel membawa dirinya singgah di sini.
"Btw, Gi, soal pulang yang lo maksud. Gue tau jawabannya," ujarnya membelai helai kelopak krisan.
"Ternyata benar ya, pulang bukan soal kembali ke bangunan bernama rumah."
Ia terkekeh pelan, merasakan deru angin menerpa halus. Dari balik sana ia dapat merasakan hentak kaki mendekat, tapi hirau.
"Tapi tentang orang yang memberi kenyamanan dan penerimaan."
Memejam sejenak mata.
"Lo harus tau, Gi. Lo hampir jadi rumah buat gue pulang."
Menghening sejenak.
"Tapi yah, tempat pulang bakal terus berubah seiring berjalan waktu. Sekarang gue punya tempat baru."
Tersenyum kecil. Ada banyak hal yang tak bisa Haysel setujui, hingga pada akhirnya tiap kali ia menolak merasa nyaman, ia tersesat.
Barangkali rumah memang bukan sekadar rumah tempat beristirahat.
Bukan pula orang yang selalu ada untuknya ketika lelah melanda, melainkan sebuah penerimaan diri untuk terus merasa mendapat dukungan dari manusianya.Pada akhirnya Haysel bukannya tidak punya tempat pulang, ia terlalu terpaku pada rumah lama yang telah hilang sampai tak bisa melihat sekitar.
"Hari ini-" Haysel tercekat.
"Mama lo nyuruh gue ke rumah lo."
Teringat akan janjinya untuk datang berkunjung pada Pelangi sesaat pulang sekolah dulu, Haysel menyendu. Bagaimana ia datang untuk kedua kali hanya sekadar menyaksikan raga kaku Pelangi di ruang tengah. Setelahnya meski Pelangi tak lagi di rumah itu, Haysel datang berkunjung tiap hari.
"Kata, mama, dia bikin banyak kue dan cupcake kesukaan lo."
Helai rambut tersapu membawa suara lirihnya menjauh.
"Selamat ulang tahun, Gi, tahun lalu dan tahun ini, gak ada pigura foto baru terpajang di rumah kalian lagi."
Ia mengadu.
"Yah, lo memang gak pernah lupa arah, buktinya lo berhasil pulang."
Meski tanpa ada jiwa dalam tubuh kaku membiru dengan jemari mengeras mengegam teru-teru bozu.
Melirik sejenak lisan dan beberapa bunga baru lainnya, Haysel menebak pasti sebelumnya Mama Pelangi datang lebih dulu.Begitu pilu raungan tangis dalam rumah itu mengudara ketika Pelangi pulang untuk terakhir kalinya, betapa hancur mama jatuh meluluh pada lantai rumah.
Berepisode-episode panjang, dihabiskan Mala mengikhlaskan satu-satunya hal yang ia punya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desir Arah
Teen FictionJauh sebelum lintang bintang memudar Dia pernah berpikir ke arah mana kaki melangkah Dengan rasa lelah memuncah Tertatih-tatih kehilangan arah Lalu suatu ketika dipenutup oranye cerah Tangannya mengepal menemukan rumah Yang tak pernah menjadi perna...