8. Perihal Haysel dan Tentang Russel

227 78 26
                                    

Hatiku bukan tempat pemberhentian, yang seenaknya disingahi lalu ditinggal pergi.
☔☔☔

Ayang Haysel

'Hai, Tuan Putri Pelangi! Jangan lupa tungguin pangeran ganteng di halte. Gitarnya dibawa ya!'

Seperti selayaknya pesan tertera menghiasi layar ponselnya pagi tadi, sambil memeluk tas gitar besar itu pada halte depan sekolah. Pelangi menunggunya di sana, sebab Haysel tidak datang ke sekolah hari ini tanpa keterangan. Setelah berjam-jam waktu berlalu hingga menyisakan sepi anak sekolahan menunggu jemputan masing-masing, bahkan angkot kuning pun telah berlalu beberapa kali dari hadapannya. Batang hidung si cowok belum kunjung nampak, suara deru kendaraan sayup-sayup mengantarkan Pelangi ke dalam alam bawah sadar. Pelangi mengantuk luar biasa, karena semalaman begadang menonton drama sampai larut malam.

Cuaca yang mendung hari itu dengan udara lumayan sejuk, menghembuskan angin sepoi-sepoi menjadikan rasa kantuk mampir kian menjadi-jadi.

Menghitung detik-detik berlalu, Pelangi merangkai kehampaan dalam mimpi tak pernah teralisasi dalam dunia nyata.
Tubuh yang terasa lebih lelah dari hari biasa, kepala yang lumayan pusing menjalani hari-hari. Napasnya memelan tenang, bersandar menikmati tidur siangnya.

Haysel yang baru sampai tertegun mendapati si gadis tengah terlelap memeluk gitarnya, ia jadi merasa bersalah menyuruh Pelangi menunggu, merasa bersalah karena datang terlambat. Berjongkok memperhatikan setiap lekuk wajah damai Pelangi. Bulu mata lentik dengan bibir sedikit terbuka, pipinya agak kemerahan, rambut kepang samping rapi.

Merasa tidak tega membangunkan si gadis, Haysel duduk bersila pada trotoar kotor halte meraih kedua tangan Pelangi mengengamnya. Telapak tangan hangat aroma stroberi, jemari-jemari nan kecil.

"Haysel?"
Mata si gadis mengerjap-ngerjap punggungnya reflek menegak mendapati manik Haysel menatapnya lekat, wajah teduh bersama sorot mata hampa.

Pelangi mengusap matanya pelan hingga terasa agak perih.

Haysel yang masih setia duduk di depan Pelangi mulai bangkit berdiri mengambil posisi duduk pada kursi halte, memperbaiki tudung jaket abu-abunya.

"Maaf ya, gue lama," ujar Haysel penuh sesal, untung saja tidak ada yang melakukan tindakan macam-macam pada si gadis. Ia jadi bertanya apa Pelangi sungguhan menunggunya sejak pulang sekolah? Serius? Sekarang sudah jam berapa! Sudah hampir senja.
Ya ampun Haysel jadi merasa amat bersalah.

"Gapapa kok, tadi aku cuma ketiduran bentar."

Pelangi masih menguap pelan rambutnya jadi sedikit berantakan teracak angin.

"Makasih ya, udah jagain gitar gue."

Dijawab anggukan riang, Haysel meraih alat musik kesayangannya itu.
Menyibak rambut Pelangi ke belakang menghalangi matanya, derai dedaunan jatuh mengenai kulit wajah si gadis. Haysel terkekeh kecil menyingkirkan.

"Lo nungguin gue dari pulang sekolah?"

"Iya," katanya mantap, antara gemas dan kasian, Haysel memilih menghembuskan napas panjang tak habis pikir akan kelakukan Pelangi super polos, ia jamin menculik seorang Pelangi pasti sangatlah mudah. Terkadang terlihat terlalu baik menjadi naif sangatlah tidak baik. Lalu lalang orang-orang mulai sepi, suara kendaraan mengebu-ngebu mengisi keheningan sekitar.

"Lain kali gue ambil di rumah lo aja deh."

Kalimat dilontarkan Haysel seakan punya niat menitipkan lagi gitar pada Pelangi. Tapi si gadis tidak keberatan sama sekali, ia hanya mengangguk kecil mengiyakan sambil tersenyum.

"Mau gue antarin pulang?"

Pelangi menggelengkan kepala.

"Aku bisa pulang sendiri."

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang