18. Cinta Dari Pelangi

145 52 4
                                    

Kepada semesta, aku meminta.
Agar nanti cinta memang ada untuk selamanya.
Dan bahagia tak akan menghujung pada tiada.
☔☔☔

Meringis menyentuh luka bibir hasil yang ia dapatkan ketika kembali menemui Gilang mantan bandnya, beradu argumen berakhir tonjok-tonjokan dalam khalayak ramai kafe. Melakukan kerusahan, setidaknya Haysel puas membuat mantan bandnya diusir sebelum usai tampil. Walau sebenarnya rasa ganjil menyelinap, tentang makian Gilang masih terngiang-ngiang memenuhi benak.

"Lo cuma manusia sampah yang ngebiarin semua hal hancur di tangan lo! Bajingan gak berguna!"

Menjadi manusia yang kehilangan tujuan untuk pulang rasanya menghilangkan hampir seluruh kewarasan.
Hidup yang terasa hampa penuh duka-duka bercampur luka  menghantui sepanjang berjalan masa.

Jujurnya, Haysel muak menjalani semua, berpura-pura, bercanda, tertawa, menyaksikan helaian bahagia melaluinya begitu saja.

Ketika Ibu sudah tidak ada, dunianya runtuh, semua terasa tak lagi sama, dan semesta penuh fatamorgana.

Haysel mencipta kebohongan-kebohangan kecil pada dirinya sendiri, kebohongan kecil berdampak besar. Bumerang luar biasa mengancurkan pertahanan diri.

Ia tidak ingin seperti ini. Tidak ada yang mau seperti ini.
Tiap kali melirik sudut-sudut rumah mereka, bayangan Ibu masih terasa nyata, terasa ada.

Dan setelahnya Haysel memilih mempercayai ucapan-ucapan orang-orang di pemakaman bahwasanya ibunya sedang pergi sementara. Sedang tertidur pada suatu tempat jauh.

Ke mana pun itu, sudut dunia manapun itu, Haysel akan mencarinya, berbekal gitar tua milik Ibu, berbekal selembar foto samping tempat tidur, berbekal ingatan-ingatan masa lalunya.

Haysel bernyanyi untuk mencari Ibu. Hanya untuk Ibu.

Sebab rumah untuk pulangnya adalah Ibu. Pada peluk hangat, pada suara nyanyian lembut mengalun, pada elusan singkat, pada cerita musiknya, pada segala hal berkaitan dengan Ibu.

Ketika rumah untuk pulang itu berlalu, Haysel kehilangan arah. Linglung, tersasar, mengalana entah ke mana, terluka, jatuh, kehilangan, dan tak menemui makna apa-apa.

"Bu? Kenapa harus Ibu?"

Sesak mencekik dada, bendungan air mata tumpah, tak jua dalam lalu lalang orang-orang trotoar itu menyadarinya.

Haysel menepi terduduk memeluk lutut. Debu polusi, knalpot meraung-raung.
Sebuah toko kue terpampang nyata, ramai pengunjung. Tidak tahu juga mengapa ia berakhir di sini. Haysel menunduk menyembunyi tangis. Bahkan pada titik keramaian jalanan, kesepian mecengkram kuat.

"Kenapa harus Haysel?"

Mendung memenuhi angkasa, menyimpan matahari dari balik kelabu, mengepalkan tangan hingga buku-buku jemari memutih. Haysel melepas harapan lebih. Terisak mengabaikan pandang-pandang tertuju, mengacak, menarik anak rambut hitam kelamnya kencang. Haysel mengigit bibir menahan gejolak untuk berteriak kencang kepada semesta.

Mengapa mempermainkannya sedemikianrupa. Haysel tidak sekuat kelihatannya. Ia lelah menahan segala rasa, ia lelah membohongi diri, dan ia mencapai batas semua.

Retak-retak nan pecah melebur menjadi abu, meski beberapa kali terlintas di benaknya mengenai kematian Ibu, kepalanya selalu mengeleng kuat bahwa itu tidaklah nyata. Sekat tinggi menciptakan ilusi, menyakiti hati, dan semua itu semakin luruh, semakin melebur ketika ia mendapatkan fakta kemarin. Tentang anak perempuan ayah di foto, tentang bagaimana perasaan Ibu, dan tentang ia terlalu naif mengabaikan dan mempercayai.

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang