Dalam rengkuh hangat tangan yang tak kuat menjangkau bintang, doanya mencapai langit. Semoga anakku sayang, tak lagi terus merasa sakit.
☔☔☔"Untung pas."
Mala, mama Pelangi menyerahkan cangkir berisi susu coklat hangat pada Haysel, cowok itu telah selesai menganti pakaian. Mama Pelangi bilang, itu milik Russel yang kerap Pelangi pinjam atau Pelangi curi dari jemuran untuk memancing Russel turun mengejarnya keluar dari kamar terkutuk lantai duanya.
Ternyata berguna juga hasil curian Pelangi bagi orang lain. Ruangan tengah dengan sofa panjang depan tv, karpet berbulu lembut membentang lantai, banyak pigura foto terpajang samping dinding. Wajah Pelangi mendominasi dengan senyum atau tawa gigi ompong. Haysel mendadak iri. Aroma manis kue tercium sejak pertama kali ia menginjak kaki di rumah ini, walau takut-takut berakhir dicaci, tapi semua tak seburuk keliatannya."Terima kasih," ucapnya ragu-ragu.
Mala mengangguk paham, menyalakan televisi."Tante gak marah?"
Yang ditanya mengangkat alis bingung, Haysel munduk dalam menikmati hangat cangkir susu coklat, handuk tersampir pada pundak. Warna rambut hitam nan pudar, iris coklat madunya meredup.
"Untuk apa?"
Haysel mendongak.
"Karena aku Haysel?" bilangnya selayak pertanyaan.
"Memangnya kenapa kalau kamu Haysel?"
Senyum lembut mala terbit, tak seincipun guratan kemarahan ataupun pandang remeh terpampang, menjadikan rasa tidak nyaman Haysel menguap.
"Karena-" Dia tercekat tak sanggup menjelaskan. Karena seharusnya Haysel dibenci olehnya.
Mala, Mama Pelangi menghembus napas panjang.
"Mirip Pelangi," ujarnya.
"Kenapa saya harus marah ke orang yang gak bersalah?"
Haysel terdiam membisu, gusakan pada rambut basah memberi sensasi nyaman, Mala hanya terkekeh kecil.
"Itu bukan salah kamu," katanya.
"Semua hal udah berlalu, kalau diungkit lagi bakal banyak hal buat nangis. Ada banyak kenyataan yang menyakitkan."
"Apa tante tahu?" tanya tergagap.
"Semua."
Merekam banyak ingatan dalam masa mudanya kadang begitu menyedihkan, ia berharap melupakan banyak hal.
Tapi semua terlanjur tersimpan menjadi bagian memoar memberi pelajaran. Barangkali tak apa. Tak apa membuat sebuah kesalahan besar, sebab pada akhirnya ia bisa menerima makna. Pada akhirnya ia hidup berkat semua. Mungkin dengan ini semua, Mala memahami banyak hal. Tentang tempat pulang yang beranjak, tentang perasaan cinta harus melepaskan. Segalanya. Tidak apa."Gak ada satupun dari kalian yang salah, Kamu, Russel, maupun Pelangi."
Sebab anak-anak itu tak pernah meminta dilahirkan demikian, tak pernah meminta menerima semua yang tejadi.
"Gak ada yang salah, jangan salahin diri sendiri."
Karena salahnya yang tak begitu teliti menerima cinta, terlalu terbuai akan kalimat manis yang berakhir mengecap pahit.
"Kalau ada yang salah, itu bukan kalian, nak," ujarnya agak tersendat memalingkan muka, melemparkan segala rasa gelisah menyerang. Berkali-kaki mengadu pada Tuhan bahwa ini tidak lah adil. Lalu yang adil bagaimana? Pada akhirnya semua menjadi seperti yang sudah digaris bawahi takdir.
Tidak tahu. Ini kesalahannya, takdirnya.
"Tapi aku-"
"Kamu seharusnya yang membenci saya, Haysel."
KAMU SEDANG MEMBACA
Desir Arah
Teen FictionJauh sebelum lintang bintang memudar Dia pernah berpikir ke arah mana kaki melangkah Dengan rasa lelah memuncah Tertatih-tatih kehilangan arah Lalu suatu ketika dipenutup oranye cerah Tangannya mengepal menemukan rumah Yang tak pernah menjadi perna...