Pada akhir yang berakhir.
Kutemukan engkau di ujung hidupku.
Tidak jelas mengapa.
Tidak jelas apakah aku melukai atau sebagai yang terlukai.
Pada akhir yang berakhir.
Semoga engkau tak menjadi yang tersiksa.
Semoga engkau telah menggali banyak bahagia.
Pada akhir yang berakhir.
Aku senang kita pernah bertegur sapa.
☔☔☔Dekap erat bibi Airi menyesakkan, tak ada seraut emosi kecuali kekhawatiran mendalam melekat dalamnya, air mata luluh jatuh, Russel pulang dengan payung merah milik Pelangi, sedangkan ransel abu-abu itu telah diembat oleh Haysel entah dibawa ke mana.
"Kamu dari mana aja? Siapa yang nyakitin kamu?"
Russel hanya mengeleng sebagai jawaban, tak mau membalas tiap pertanyaan beruntun milik bibi Airi, om Arta hanya diam memperhatikan, tapi jauh di lubuk hati ikutan cemas.
"Lukanya bibi obatin dulu ya?"
Russel menurunkan jemari lembut Bibi Airi yang hendak menyentuh ujung bibir serta lebam pipi. Ia mengeleng, iris coklat madu yang sendu mengambarkan kelelehan luar biasa.
"Nanti juga sembuh sendiri."
"Tapi-"
"Russel capek Bi, mau istirahat."
Istirahat yang panjang. Bibi Airi memilih nenyerah meski ujung lidahnya masih ingin meluncurkan segudang tanda tanya. Maka ia biarkan punggung lunglai Russel manaiki tangga menuju kamarnya. Punggung yang terasa membawa banyak beban, menumpuk berkilo-kilo penderitaan. Luka lama terbuka lebar, menjadikan hatinya bernanah menderita.
"Biarin dia istirahat, nanti bisa tanya lagi," ujar om Arta yang sedari tadi menyimak. Bibi Airi hanya mengangguk pasrah.
"Aku mau bikin susu buat Russel dulu."
"Sama kopinya satu ya?" Mohon om Arta, bibir bibi Airi tertarik ke atas. Tersenyum kecil.
Lelah itu bermuara pintu kamar yang sudah ia tinggalkan behari-hari lamanya, menjangkau engsel masuk. Maniknya mendapati ada banyak warna putih mendominasi kamar.
Melayang mengikuti desir arah jendela, sebuah dreamcatcher tergantung apik melambai-lambai menyuruh Russel masuk lebih jauh. Memperhatikan sekitar, pada teru-teru bozu yang dibiarkan tergantung jatuh dari langit-langit kamar, benang-benang putih penyangga. Pada jendela yang membiarkan angin menyelusuri seluk beluk kamar. Russel tertegun, merasakan desir aneh menembus jantung.
Perasaan bersalah menganggu, coretan kecil-kecil di ujung boneka-bonekanya merangkai banyak kalimat harap yang tak pernah ia dengarkan dari siapapun sebelumnya.
"Setelah hujan berhenti, Russel jangan menangis lagi."
"Jangan sedih."
"Semoga bahagia."
"Jangan biarin Russel bendung sedihnya sampai meledak."
"Jangan biarin hujan turun dari manik coklat madunya."
"Jangan biarin dia sendirian."
"Cinta Russel ♡"
"Russel anak baik, anak baik gak boleh kesepian."
Terduduk pada kasur, mengusak wajah, menanggalkan kacamata guna memastikan akan semua hal terlihat. Pada setiap rangkaian kalimat, pada setiap ucap melayang.
Pada sebuah dreamcatcher yang ikut membawa tulisan rapi Pelangi di sana "Mimpi buruk jauh-jauh jangan ganggu Russel."
Kata-kata kekanakan yang begitu mengambarkan sosok Pelangi Anjani, sebagaimana senyum cerah dan mata liciknya menjelma mengusili Russel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desir Arah
Teen FictionJauh sebelum lintang bintang memudar Dia pernah berpikir ke arah mana kaki melangkah Dengan rasa lelah memuncah Tertatih-tatih kehilangan arah Lalu suatu ketika dipenutup oranye cerah Tangannya mengepal menemukan rumah Yang tak pernah menjadi perna...