16. Lembar-Lembar Fakta

154 60 0
                                    

Pada suatu hari, di depan pintu membawa kelu dengan harap palsu, ada yang menunggu tanpa harus mendengar berita haru.
☔☔☔

Kesunyian menerkam tubuh, mencabik-cabik bagian perasaan Haysel terlalu tersentak, meremas kertas serta beberapa foto yang baru ia temukan dari lemari milik Ayah. Kertas yang mulai menguning dihiasi bercak tinta, lembar-lembar foto, dan lagi sebuah fakta tertulis berderet pada bagian belakang tangkapan gambar itu.

Dia terlalu kelu untuk mengutarakan setiap pilu yang entah sudah sekian lama dipendam sendiri, mengigit bibir bawahnya. Mata berair itu menengadah, tertawa kencang.

"Wah, gila!" serunya kemudian.

"Gila banget!"

Mengacak rambut kesal, tertawa terbahak mengalihkan rasa sakit dengab lelucon semesta persembahkan untuk hidupnya. Entah sudah berapa kali Haysel menemukan-menemukan kejutan menyita perhatian.

Namun, ketika ia menatap sekali lagi lembar foto dan tulisan tangan sana, Haysel tidak lagi bisa berkata-kata.

Potret seorang wanita dan juga seorang anak perempuan kecil tersenyum lebar menatap kamera.

Jantungnya berdebar kian kencang, nyaris copot. Mencoba berpikir tidak nyata, lalu seperkian detik. Setiap ia melihat urutan foto-foto menyaksikan pertumbuhan anak itu. Haysel hancur.

"Haysel?"

Ia menengok Ayah yang baru memasuki kamar, seraut keterkejutan menguasai wajah, tapi kemudian ia berusaha biasa saja. Suhu udara terasa dingin menusuk, hati Haysel mendadak beku.

Detak jam terdengar jelas. Pada kasur lama yang sudah tidak pernah lagi ditempati Ibu. Sudut ruang yang hanya mampu menyisakan bayang-bayang Ibu.

"Ibu tahu?" tanya dengan nada sumbang terlontar.

Ayah tak bergeming, menatap lamat-lamat kertas-kertas pada gengaman sang anak.

"Iya," jawabnya.

"Selama itu, Ayah?"

"Itu gak seperti yang kamu pikirin Haysel."

Haysel terkekeh, terlalu patah menerima banyak hal.

"Dan Ibu tau?"

"Haysel dengar."

"Ibu tau Ayah selingkuh!!" teriakannya mengema.

"Haysel!"

Emosinya bergemuruh, ada luapan selama ini ia tahan keluar, bibirnya terkekeh. Gila. Semua terasa di luar kontrolnya, tidak ada lagi yang bisa membuatnya bisa serapuh ini.

Tidak dengan bandnya, tidak juga akan larangan ia terus bermusik.

Ada begitu banyak luka pada rumah ini, pantas Ibu memilih pergi, pantas dia juga pergi.

"Sejauh itu? Selama itu Ayah lakuin!"

"Itu kesalahan dan ayah gak berpikir bisa terjadi."

"Kesalahan Ayah bikin Ibu pergi! Gak ada lagi Ibu di rumah ini. Rumah ini gak ada artinya sama sekali. Apa yang udah ayah lakuin? Apa yang udah ayah perbuat sampai aku ngerasa kehilangan kayak gini? Kenapa karena ayah aku harus kehilangan Ibu?"

Napasnya memburu, menepuk dadanya kencang mencoba menghilangkan sesak, ia nyaris ingin meraung kencang, memaki, menyakiti, merusak segalanya.

Dunianya hilang, ia kehilangan dunianya. Kehilangan rumah, kehilangan semesta. Rumahnya cuma Ibu. Ibu yang menenangkan sakitnya, meredam isakan, mengobati luka-luka sekujur tubuhnya. Rumahnya Ibu yang menyambutnya dalam perlukan hangat, mengelus rambut menyanyikan lagu tidur hingga terlelap.

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang