2. Aku, Kamu, dan Laboratorium

467 114 29
                                    

Mau tahu sesuatu?
Ketika kamu tersenyum, semestaku bahagia.
☔☔☔

Sama seperti hari membosankan lainnya, kali ini Russel datang ke sekolah, walau sebenarnya separuh jiwanya masih melekat di kasur empuk rumah. Yang berbeda hanya earphone yang saat ini ia gunakan tidak serupa dengan sebelum-sebelumnya.

Jujur dari tadi Russel merasa agak merinding disko merasakan tatapan Pelangi untuknya.

Kelas sudah mulai meredup, Pelangi menarik kursi depan Russel, menderit berhasil mangambil perhatian anak-anak kelas sambil meletakan totebag biru tua besar ke meja. Gadis itu duduk berhadapan dengan santai tanpa dosa mulai membuka segala isi.

"Aku disuruh bawa bekal sama pempek oleh-oleh dari Palembang untuk kamu," katanya mengeluarkan tiga kotak Tupperware berbagai warna. Satu botol minum berwarna merah jambu dan satu botol kola kecil, si gadis tersenyum lembut membuka tutup-tutup kotak.

"Gue udah kenyang."

Bohong sekali, sedari tadi pagi ia belum mengecap makanan apapun karena takut telat. Perutnya meronta minta diisi, namun egonya terlalu tinggi apalagi mengingat soal kejadian beberapa hari. Jadi intinya dia masih ngambek, dan tidak mau termakan bujuk rayu seorang Pelangi.

"Soal headphone aku minta maaf, aku bakal ganti, serius."

Russel hanya diam.

"Tante Airi bilang kamu suka nasi goreng udang."

Menu tersaji berupa mi goreng, nasi goreng, dan empek-empek berhasil memancing keributan cacing-cacing perut Russel. Haduh, dia jadi dilema.

"Nah, ayo makan!" serunya riang menyerahkan sendok ke arah Russel semangat.

"Mama yang masakin nasi gorengnya, jadi enak banget, kalau mi aku yang masakin, terus empek-empek aku yang goreng tadi pagi."

Tiba-tiba Russel jadi merasa tidak enak dengan tante Mala, wanita dewasa satu selalu kelewat baik padanya. Mama Pelangi itu baik pakai banget, sering nyongok Russel bolu pandan, bolu gulung, dan berbagai jenis bolu toko roti pernah Russel cicip secara percuma. Kalau seandainya dia tidak makan nasi gorengnya, pasti tante Mala bakal sedih. Tapi Pelangi ngeselin banget.

"Gak ada racunnya kok! Jadi aman terkendali!"

Waduh, kalau ngomong kayak gitu Russel jadi kepikiran, jangan-jangan beneran ada racunnya, tapi kayaknya Pelangi bakal makan bekal bareng. Nanti kalau sakit, sakitnya bareng-bareng, kalau mati, matinya bareng-bareng.

"Oke, kalau gue mati lo gue gentayangin."

Pelangi mengangguk senang, entah senang bakal digentayangin atau senang Russel bakal mati. Menaruh earphonenya di laci meja, Russel memegang sendok. Liurnya berasa mau turun saat menyaksikan udang-udang bersemayam dalam balutan nasi goreng. Dari arah luar, seseorang masuk menampilkan wajah penuh keringat bagian kening bercucuran serta seragam yang ketiaknya telah basah.

"Misi! Minta minum!"

"Eh, tunggu itu-"

Haysel menyambar botol kola di meja mereka, meneguk rakus lalu sedetik kemudian berbalik menyembur. Rasa pedas menguasai lidah, Haysel sontak kebablasan memuntahi keramik kelas yang kalau dilihat anak piket hari itu bakal diamuk pakai sapu.

"-cuka empek-empek."

Pelangi menyengir.

"Astafirullah, Gi. Telat! Udah ketelen."

"Bukannya udah kamu sembur balik?"

"Minum! Minum!"

Padahal mah Haysel cuma makhluk tuhan sedang kehausan malah apes minum cuka. Dia terlalu bersemangat ikut anak-anak yang mengajaknya main basket, walau rada mager ia tetap ikut hitung-hitung mengakrabkan diri pada manusia sekolah barunya ini.

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang