22. Desir Untuk Menghilang

172 53 16
                                    

Empat mata angin, tidak pernah mampu menunjuk arah rumah untuk pulang. Jika semesta lebih dulu menjemputmu pergi jauh menembus langit tinggi.
☔☔☔

Ketika bayangan wajahnya memantul dari cermin, rambut coklat dan mata seterang madunya, mengingatkan tentang Ibu, segala hal mengenai ibu, kerinduan yang memuncah tak bisa ia tahan serta linangan air mata mengucur.

Haysel benci itu, bagaimana Ayah menatapnya sendu, penuh penyeselan mendalam tapi di saat bersamaan terlihat lega.

Haysel benci ditatap menyedihkan, ia benci bagaimana tetangga berbisik kasihan, ia juga benci jika mulut-mulut anak-anak lain meneriakinya kasihan.

Berkelahi bukanlah perkara tidak biasa baginya, sebab hampir setiap hari ia melakukannya. Pulang ke rumah setengah berlari membawa luka sekujur tubuh mencari Ibu untuk diobati lalu berakhir tiada.

Sebab ketika ia merenung sendiri, ia sadari rumah yang kosong itu serasa hanya dirinya yang menempati. Ayah menyibukan diri bekerja mencari uang katanya, sedang Haysel sibuk berkelahi membela diri menurutnya. Namun tak jarang ia dimaki-maki Ibu-Ibu dari anak yang mengajaknya berkelahi.

Haysel kecil tidak pernah kapok.

"Haysel kamu punya ayah yang sayang sama kamu." Ketika Bibi Airi berucap demikian, hati Haysel mengerut. Sungguhkah begitu?

"Kamu jaga rumah ini ya? Jaga Ayahmu juga. Kamu anak yang kuat."

Haysel kecil hanya mampu terdiam tidak menjawab terlalu kaget akan banyak hal. Tentang Russel sudah tidak lagi pulang ke rumah semenjak Ibu dimakamkan, tentang Ayah sering menangis di kamarnya, dan tentang orang-orang menyuruhnya untuk terus kuat.

"Russel di mana?" pertanyaan pertama akhirnya keluar juga, sudah terlalu malas mendengar kalimat-kalimat penyemangat serupa entah untuk apa.

"Russel bakal ikut Bibi."

"Haysel juga?" tanyanya lagi.

Bibi mengeleng membalas mengelus rambut coklat terang miliknya lembut, duduk di samping memeluk begitu erat. Ruangan keluarga itu menghening menyisakan detak jam, jejak-jejak duka serta lubang besar kehilangan masih mengangga. Haysel kecil tidak pernah bisa mengerti, mengapa orang dewasa terlihat serumit ini.

"Kenapa Haysel gak ikut?" Suara kecilnya bergetar. Rumah ini terasa begitu menyesakan, ia tak kuat lagi melihat tangisan, ia tak ingin ditinggalkan sendirian. Jika Russel tidak ada di sampingnya. Bagaimana cara ia bisa tidur nyenyak sendirian melewati malam-malam sunyi mencekam. Haysel kecil merasa takut.

"Haysel harus jaga Ayah, karena Ayah sayang Haysel."

"Ayah juga sayang Russel," jawabnya meski agak ragu.

Ingatannya memutar saat hujan deras setelah pulang dari bermain, ruang remang latar rumah, kilat menyambar suara petir terdengar. Aroma basah serta lumpur, Haysel kecil masuk menemukan ayah terduduk berteriak pilu. Ibu berlumur darah, dan Russel tergeletak penuh luka. Setelahnya sepi, otak kecilnya memasang alarm berbahaya, berlari kencang menerobos hujan berlari sekuat tenaga secepat mungkin mengetuk pintu brutal meminta tolong. Hanya itu. Hanya itu yang bisa ia pikirkan. Berlari dalam deras hujan berkilo-kilo meter tanpa ada kendaraan umum lewat.

Apakah ia salah?

Apakah menjadi terlalu kuat berarti harus terus menetap di sana?

Pada luka kecilnya, menutup erat kedua telinga menghilangkan rasa takut tersambar petir. Berlari meminta tolong.

Haysel tidak sekuat itu.

Jika Haysel kuat, ia tidak meminta tolong pada orang dewasa.

"Ayah lebih sayang Haysel jadi Haysel harus jaga ayah ya?"

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang