27. Russel Bagi Pelangi

106 38 0
                                    

Dalam keheningan ruang sepi, aku berharap di kehidupan berikutnya, di dimensi lainnya. Kita tidak akan pernah bertemu sebagai dua insan saling menyakiti.
☔☔☔

Russel kehilangan arah, desir angin tak mampu meradakan gersangnya kepercayaan yang dimiki terhadap banyak manusia.

Membawa kaki entah ke mana, berjalan sejauh mungkin. Sejauh yang ia bisa, ke mana saja di mana dunia ini sepi sunyi, tanpa ada satu pun manusia lain dalam peredaraannya.

Dari kecil dunia yang berputar begitu cepat ini, terlalu ribut, menyiksa kalbu, membuat banyak awan-awan kelabu menghiasi hati berpilu. Mencari tempat sekadar menepi menjernihkan pikiran kusut tak berujung temu.

Russel lelah mempercayai segala.

Lelah memempercayai manusia, lelah mempercayai dirinya sendiri.

Ia tak ingin berakhir demikian.

Tidak dengan menjatuhkan diri dari tempat tinggi, menabrakan diri di laju truk, menyelam ke tempat dalam membiarkan oksigen terenggut begitu saja.

Russel tidak ingin melakukan hal sia-sia, tapi hidupnya terasa sia-sia.

Semua memudar, hilang kendali, Russel tersasar ke tempat antah berantah yang tak ia ketahui jalanannya, dengan kompas rusak, hati retak, dan realita menghantam telak.

"Bu, kalau seandainya Russel gak ada gimana?"

Menengadah memperhatikan riak kepulan putih langit, Russel bertanya pelan.

"Kalau seandainya Ibu gak ketemu Ayah?"

Tercekat akan segala kemungkinan-kemungkinan yang ada.

"Kalau seandainya, Ibu gak pernah menikah dengan ayah, gimana?"

Mengusap wajah kusam serta kacamata rusak berkat berkelahi dengan preman jalanan yang hendak merebut sisa uang dari kantung celananya. Sudut bibir robek, menyisakan sisa darah mengering, meski berhasil menyelamatkan ponselnya yang berakhir retak, pada akhirnya benda itu kehilangan daya tak bisa menghentikan betapa berisik segala suara sekitar memekakan.

"Kalau Russel dan Haysel gak terlahir di dunia. Apa Ibu masih tetap di sini?"

Mengurai semua hal memenuhi sudut pikir miliknya, langkah lunglai memasuki jalanan mulai lengang.

"Kalau seandainya, tante Mala gak pernah ketemu ayah," gumamnya.

"Kalau seandainya Pelangi gak terlahir."

Apa boleh dirinya berpikir sejahat ini? Tercekat dalam langkah memberat, mempehatikan sekitar. Sejuk menyeka meski mentahari naik terlalu tinggi, jalanan sepi membentang, selayaknya sebuah lorong masa lalu melintas, tepian-tepian trotoar ditanami pepohonan, rimbun sepanjang mata memandang. Derai daun berjatuhan mengenai kakinya. Russel tidak tahu ia berada di mana, tak jua peduli.

Terduduk pada halte tua berkarat, memastikan lagi keberadaannya, barisan bangunan berjarak terlalu jauh satu sama lain.

Beginikah rasanya kesepian?

Ketika ia tumbuh dengan banyak hal menakutkan menari-nari pada kepala, bagaimana ia pikir akan ada orang dewasa menyakiti saat berpergian ke luar. Suara ribut menyakitkan, atau ketidakpeduliaan manusianya berbalik pergi ketika menemukan Russel.

Russel kecil benci melihat kepalsuan, sebab beberapa saat kemudian, segala yang ia punya bisa terenggut.

Kesendirian membunuhnya, tapi ia butuh sunyi guna menenangkan diri.

Dunia yang terasa sangat ribut ini, asing tanpa Ibu. Suara lembut ibu, nyanyian, petikan gitar atau dongeng panjang.

"Bu, Russel lupa."

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang