15. Rumah Bibi Airi

168 53 34
                                    

Tidak apa-apa. Tidak apa-apa untuk mengingat banyak luka. Tidak apa-apa untuk berteriak keras pada udara hampa, tapi setelahnya berjanjilah untuk menjadi tidak apa-apa dan bahagia.
☔☔☔

Tiga ketukan menghilangkan senyap, dari sebalik ruang kamarnya, Russel terpekur cukup lama. Menatap boneka yang baru selesai ia jahit sedemikian rupa. Di luar sana, kelam telah menguasai penjuru kota, kerlap-kerlip lampu jalanan mulai menyala. Russel menatap jendela dengan tirai terbuka, jendela seberang sana tertutup rapat dengan lampu kamar menyala.

"Russel? Turun, makan!" teriakan Bibi Airi mengema.

"Nanti, Russel turun, Bi."

Setelahnya langkah kaki berlalu. Russel melanjutkan kerjaannya, mengunting sisa kain putih, memasukan kapas, kembali menjahit.

Musim penghujan selalu berhasil membuatnya begitu gelisah, setiap rintiknya mencekam kenangan masa lalu, setiap derap air turun mengemakan banyak kengerian. Lalu setiap ia memperhatikan hujan jatuh, wajah Ibu terngiang-ngiang, berdarah, dan tak lagi ada di belahan dunia mana pun. Kelabunya langit mengingatkan betapa menyeramkan wajah Ayah tertuju untuknya.

Russel tidak suka hujan. Sungguh.

Setiap ia jatuh, ia merasa terpojok sendirian, tertinggal.
Ia takut.

Ia takut.

"Sial," pekiknya tertahan merasakan tejam jarum menusuk jemarinya, noda merah mengotori kain putih. Mengerutu tidak terima, Russel mengisap darah jarinya menatap sejenak ruang sekitar yang ia tinggali cukup lama. Ruangan rak berisi banyak komik-komik, khususnya detektif Conan. Meja belajar beserta komputer yang kerap ia gunakan bermain game.
Tempat tidur yang nyaman, makanan yang cukup, om dan bibi yang baik.

"Menurut kamu rumah itu seperti apa?"

Sialnya, suara Pelangi terngiang-ngiang dalam benaknya. Memangnya rumah itu seperti apa? Russel tidak tahu pasti, ia bingung. Tapi menurutnya jauh sebelum ini, ia punya rumah di mana ada ayah dan ibu di dalamnya, meski penuh drama dan kepalsuan, ia menyukainya. Sebab di sana, ia tak merasa sendirian. Ada yang melindunginya.

Dalam memoar kotak-kotak kenangan masa kecilnya, kilasan melaju pada adegan, di mana ia selalu bersembunyi di bawah meja kamar, di bawah tempat tidur dan seseorang yang menyuruh untuk diam menetap.
"Semua baik-baik saja." Seperti sebuah mantra penenang, Russel mempercayainya. Menyaksikannya pergi mencari bantuan. Dari tengah, perang luar sana, gedoran pintu maupun suara pecahan kaca.

Mengembus napas panjang, Russel memperbaiki letak kacamatanya, beranjak menuruni tangga rumah menuju meja makan dapur. Bibi Airi nampak tengah mengelupas buah apel.

"Tadi bibi masakin ayam kecap," katanya.

Russel terdiam memperhatikan gerak-gerak Bibi Airi nan lincah, rambut yang tercepol itu mulai menyembulkan helaian putih, kerutan-kerutan menghiasi menandakan usia membawanya menua.

Menarik kursi meja makan, cowok itu terduduk terpekur sejenak.

Dulu. Dulu sekali jauh sebelum ia beranjak tinggi, tumbuh, dan besar.

Bibi Airi memberinya tempat untuk tinggal sebagai rumah.

Dari banyak hal yang ia takutkan saat kecil, suara teriakan, petir mengeras, bahkan rintik hujan luar jendela.

Bibi Airi tak akan segan-segan berlari di tangga, menemukan, memeluk, menenangkan, membisikan kata-kata hangat.

Bahwa, tidak apa-apa, tidak akan ada apa-apa. "Ketika hujan selesai semua akan baik-baik aja, ada Bibi. Ada Bibi."

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang