23. Teman Pertama

89 41 2
                                    

Satu dari banyak hal dalam luas dunia, aku senang kamu ada berada sebagai manusia.
☔☔☔

"Hari ini Russel gak masuk?"
Zalmon bertanya, Pelangi hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala.

"Temen sebangku lo juga?"

Pelangi menoleh ke samping hanya untuk memastikan sekali lagi bahwa tidak ada ransel milik Haysel bertenger di sana.

"Banyak amat yang absen hari ini buset, untung bukan giliran jadi pengibar upacara kita."

Cowok berperawakan tinggi berkulit tan itu berbalik menuju ke arah para siswa lain tengah bermain game. Ini sudah jam kedua pelajaran, baik Haysel maupun Russel tidak kelihatan batang hidung. Jika ditanyai soal Russel jelas Pelangi tahu jawabannya, berbanding terbalik akan keberadaan Haysel. Dia baru saja akrab, tidak banyak yang bisa ia gali dan tahu begitu saja.

Mata bundarnya menatap tulisan depan, menyalin catatannya cepat-cepat sebelum Bu guru bahasa Indonesia datang memeriksa.

"Russel ke mana ya?" gumamnya bingung.

Sebab semenjak hari minggu kemarin Russel belum pulang ke rumah, Bibi Airi tampak begitu cemas, menelpon Russel berkali-kali tapi tak satupun terjawab.

Ruang kelas dan jalan pulang menuju rumah terasa jauh lebih sunyi dari biasa. Walau Russel memang lebih suka bolos karena hujan. Kali ini berbeda, rasanya jauh lebih berat.

Pelangi tidak tahu mengapa.

"Pelangi, lo tau Haysel ke mana gak?"

Pelangi mengeleng sebagai jawaban, salah satu cowok penunggu deretan belakang bertanya, wajah berkerut-kerut tak terima.

"Wah, gila, maren songong banget dia nantang kakel tanding basket, malah dianya yang kaga datang."

"Lo beneran gak tau, Gi?" Arya setelah diam cukup lama bertanya.

"Enggak," jawabnya.

Menghembus napas panjang kedua cowok itu memilih pasrah kalah tanding dan berakhir menguras dompet mentraktir satu kelas kakak kelasnya nanti. Apes betul nasib mereka, termakan bujuk rayu Haysel serta bagaimana cowok itu begitu berbakat bermain basket. Siapa sangka Haysel tidak datang saat hari pertandingan ini. Bagaimana tidak potek isi dompet.

"Yaudah, Gi."

Pelangi kembali fokus mencatat, meski sebagian pikirannya melayang entah ke mana. Anak-anak ingatan mengenai segala hal yang ia dengar ikut menguar.

Semenjak pindah dari rumah lama nan sempit, Mama selalu bilang padanya untuk tetap merasa bahagia dan ceria. Tidak akan ada lagi yang bisa menyakiti Pelangi, dan ia akan segera punya teman.

Pelangi mempercayai semua perkataan mama padanya, jadi ia menurut.

Semua terasa begitu menyenangkan pada awalnya.

Menata kamar baru di lantai atas, memasang korden jendela warna favorit, punya kasur lembut, meja belajar serta rak buku kecil. Semua terasa luar biasa. Ada karpet berbulu halus tiap kali ia menginjak lantai kamar. Mama bilang itu hadiah untuknya karena telah menjadi anak baik.

Lalu kamar seberang rumah, ada sebuah jendela terbuka menampilkan bagian dalam bertempel beberapa poster Pokemon, ada anak laki-laki menatapnya balik. Mata madu cerah penuh sendu, rambut coklat terang, dan raut datar. Memakai kacamata sedikit melorot. Pelangi sangat senang menemukannya, jadi ia melambai dengan semangai menyapa.

"Hai! Namaku Pelangi! Aku tinggal di sini, namamu siapa?"

Anak laki-laki itu hanya mengernyit, cepat-cepat menutup jendela, menarik tirai menghindar.

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang