32. Panggilan Masuk

121 37 2
                                    

Menyelami samudera, menjelajah angkasa, terlepaslah luka, dan biarkan ia bahagia. Pada langkah tertinggal di hujan penghujung senja.
☔☔☔

Setapak licin berhasil berkali-kali menjebak Pelangi tergelincir, terisak, menepuk dadanya yang terasa sesak, napasnya tersendat, seakan ada ribuan debu memenuhi udara.

Tidak pernah sesakit ini. Melebihi batas yang bisa ia toleransi, menyembunyikan wajahnya membiarkan guyuran rintik membasahi tiap jengkal diri. Pelangi terpuruk dalam licin jalanan berlumpur membawanya buntu.

Gemuruh menyembar tapi rasanya tak sekeras suara kepala sendiri, pelupuk mengenang, semua terasa mengabur. Pelangi merangkak mencoba bertopang tubuh pada bantang pohon besar. Menelisik sekitar nan perlahan kelam menakutkan. Ia mengigil hebat, celana jeans hitam robek bagian lutut, bernoda tanah basah. Barangkali ada banyak goresan di sana.

Menghapus jejak air mata, Pelangi berlari lebih cepat, secepat yang ia bisa keluar. Menjauh. Bayangan terasa mengejar dekat, memapah hati tengah tercabik, melebarkan lebih parah sayatan sanubarinya.

Semak belukar berduri mengores kulit, mengengam erat teru-teru bozu terkena noda tanah. Warna putihnya menghilang bercampuh kecoklatan.

Pelangi tersungkur, tersandung, memejam mata ngeri berguling pada perbukitan. Mengulung semak ilalang. Terhempas kencang jatuh. Terhenti terlentang menantang langit, merasakan setiap titik-titik kecil mengenai wajah, napasnya tak lagi terasa sama.

Membuka perlahan iris gelap susah payah, Pelangi menangis. Melanjutkan tangisannya sekeras mungkin, tak lagi beranjak bangkit. Menangis sepuasnya, sekencangnya mengalahkan derai hujan. Ada sebuah gumpalan tersumbat pada tengorakan, mencekik terlalu kejam. Pelangi tak berdaya. Terlampau susah bersuara.

Tubuh penuh luka, lebam barangkali mengisi kakinya yang sudah sakit untuk diajak kerja sama melanjutkan perjalanan. Pelangi takut. Takut menyerangnya dengan hebat.

"Ma, kenapa Pelangi begini?" tanyanya patah-patah.

Baru sekarang segala nyeri mencuat, tubuh serasa dibabat abis, sakit menembus jiwa. Pelangi terlalu lemah untuk protes, terlalu tak bertenaga mengutarakan ketidak setujuannya. Raga yang luluh lantak, sekedar untuk melangkah kepalanya pusing terhempas kencang.

Tidak ada siapapun di sana, tumbuhan liar menjulang bertepikan sungai meluap. Dedaunan jatuh mengenai telapak tangan, Pelangi meringsut duduk. Memeluk dirinya sendiri, mengiris setiap pilu.

Ia tak pernah meminta, tak pernah menduga.

Jika kelahirannya menjadikan banyak luka bagi orang-orang, Pelangi akan memilih untuk tidak pernah dilahirkan.

Rasa bersalah selalu muncul menghampiri mimpi, perasaan tak layak mendapatkan cinta dan entah mengapa.

Pelangi merasa pantas untuk disakiti.

"Kenapa?" tanyanya lagi gemetar.

Meronggoh ponsel, mengatur napas, memperhatikan sekitar, bagian belakangnya adalah ngarai depannya sungai besar bebatuan.

Tidak tahu di mana, tidak harus apa.

Gemetaran menghidupkan layar ponsel yang telah retak, melindungi dari rintik jatuh.

Puluhan panggilan tak terjawab dari mama muncul pertama kali, pesan-pesan masuk yang tak pernah sempat ia baca. Nomor ponsel Haysel muncul kemudian menghiasi kotak panggilan paling atas. Ragu-ragu, ia tak ingin mama tahu, jarinya mengetuk menelpon kembali Haysel.

"Hallo?"

Pelangi mengigit bibirnya sendiri.

"Lo di mana?" Suara Haysel sebarang sana terdengar mengalahkan hujan.

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang