21. Tempat Pulang Haysel

150 49 0
                                    

Dia selalu berharap untuk 'Selamanya'. Sampai lupa, bahwa tiada yang abadi dari dunia yang fana, dan manusia termasuk bagiannya.
☔☔☔

Ketika Haysel memejam mata, ia melihat dirinya yang kecil tengah bertengkar di gang sempit dekat rumah.

Bertarung dengan kesungguhan penuh rasa kesal ketika anak-anak lain mengejek anggota keluarganya.

"Halah, bentar lagi juga orantuamu bakal cerai!"

"Betul itu, emakku juga bilang gitu!"

Dua bocah laki-laki di hadapan Haysel meledek, baju penuh noda serta kedua kaki berlumpur bekas bermain bola hujan-hujanan di lapangan, salah satunya memegang es cekek. Satunya lagi mengelap ingus dengan tidak estetik, kulit gelap yang kentara sekali terbakar sinar matahari, serta warna rambut yang serupa rambut jagung.

Haysel yang notabenya baru pulang mengejar layangannya lepas naasnya malah nyangkut kabel listrik. Menatap kedua bocah yang kerap mengajaknya gelud tiap hari menghadang jalan pulang. Rasa kesalnya makin menjadi-jadi mendengar penuturan kedua bocah keracunan gosip-gosip emak-emak berakhlak jelek itu.

Mengepal tangan kesal, Haysel melepas salah satu sendal jepitnya. Dalam hitungan ketiga menyatakan perang. Sandal bermerek Sellow berwarna hijau itu melayang mengenai kepala sang bocah pemegang es cekek, temannya yang tidak terima pun langsung maju ingin menghantam.

"Ayah sama Ibuku gak akan begitu!"

"Halah, bentar lagi kamu bakal tinggal sendiri!"

Haysel kecil melayang pukulannya lebih keras membabi buta tidak terima.

"Terus dibuang ke panti!" seru yang satunya sambil menarik bagian belakang baju Haysel kencang-kencang.

Ukuran tubuh mereka setara, meski agak kewalahan, Haysel tidak menyerah, meski berkali-kali kulitnya mengelupas akibat tergeser tembok maupun jalanan, ia akan bangkit berdiri, tidak akan takut apapun. Toh, jika luka, di rumah nanti Ibu akan obati.

Kepala sekeras batunya menyeruduk kencang.

"Dasar tukang gosip! Masuk nereka!" teriaknya kencang.

Pada akhirnya pertengkaran itu berhasil dipisahkan oleh orang dewasa yang lewat di gang. Haysel kecil mengusap bibirnya yang terasa ngilu, ada bercak darah menempel pada punggung tangan. Menatap nyalang dengan sebelah sandal yang telah melayang entah ke mana.

Ia masih harus tahan mendengar kalimat tidak mengenakan.

"Liat aja aku sumpahin orantuamu benaran cerai!"

Haysel hendak kembali maju menghantam kedua bocah itu, ketiganya mendapat luka setara, goresan-goresan yang dapat menyulut emosi kemarahan emak masing-masing tapi Haysel kecil mana peduli. Ia malah siap maju untuk ronde kesekian kali.
Peduli setan, kalau bisa masuk rumah sakit sekalian biar tahu rasa.

"Udah-udah, pulang! Pulang!"

Kerah baju Haysel ditarik ke belakang oleh seorang bapak-bapak.

"Diam kalian bocah ingusan es cekek!" seru lantang Haysel.

"Apa? Kenapa? Dasar anak sialan!" balas salah satu bocil.

"Kalian-"

"Udah pulang! Atau mau diseret ke rumah pak RT? Dimasukin penjara mau?"

Ketiganya kicep, terdiam menatap tajam satu sama lain.

"Liat aja besok," sahut anak laki-laki ingusan sebelum berlalu pergi menarik temannya yang satu lagi.

Hari itu Haysel pulang dengan luka-luka baru ke rumah di mana ada Ayah, Ibu, dirinya dan dia. Sebuah rumah dengan formasi keluarga lengkap.

Namun di hari itu.
Saat kelabu menghiasi seluruh angkasa lepas, ketika Haysel membuka pintu rumah ragu-ragu, terdengar teriakan bersahutan kencang sampai merebak ke rumah tetangga, bahkan tante Lean tetangga samping rumahnya kini malah sibuk pura-pura menyiram tanaman depan rumah, dengan daster yang bagiannya bawah agak sedikit terkoyak serta rambut berantakan. Tante Lean siap menjadi CCTV dadakan untuk mengumpulkan bahan gosip saat tukang sayur lewap esok harinya.

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang