13. Mama dan Pelangi

170 63 21
                                    

Hampir pernah dalam setapak buruk itu, dia terpuruk merasa buruk. Merasa keruh, menerima keluh. Memilih meneduh, mencari rumah yang ternyata juga mempunyai rusuh. Tetapi senangnya tak luluh, sungguh.

☔☔

Dalam keramaian yang membawa masa lalu menuju telapak tangan, berusaha mengubur dalam setapak-setapak sempit perjalanan hidupnya. Mala, mama dari Pelangi itu, hanya mampu berdiam dari sebalik meja restoran dengan mata menyorot jauh tak ingin memandang orang depannya, barang seinci pun.

"Maaf, La."

Dia hanya tersenyum tipis, menatap buku menu atas meja. Bahkan ia tak mau melirik lagi wajah penuh penyesalan dan permohonan maaf berkali-kali. Sebab jujur Mala muak, muak akan segala hal, muak dengan permintaan maaf yang tak bisa mengubah apa-apa. Bukannya jahat, semua telah berlalu meski berkali-kali ia mencoba, hatinya tetap lebur tidak kuasa, tidak tahan. Namun semua berlalu, semua berjalan, waktu berdetak, Mala menerimanya, pasrah, mencoba menikmati. Walau kata termaafkan tak jua keluar dari belah bibirnya.

"Semua udah jadi masa lalu, gapapa," ujarnya membuang muka ke arah jendela, sebab setiap kali mereka berpapasan atau bertemu Mala tak kuasa untuk menahan tanggisnya. Dia hampir kehilangan banyak hal.

"Maaf. Maaf, La."

"Lupain aja, ini udah bertahun-tahun lamanya. Kalau seandainya kamu masih nenyesal, aku cuma minta tolong sesuatu."

"Apapun itu, La."

Mala tersenyum mencoba menatap dalam hingga jauh tengelam dalam sepasang mata itu.

"Aku cuma minta tolong, lupain semua dan biarin aku hidup bahagia berdua dengan Pelangi. Cuma itu, gak lebih."

Dan obrolon siang kelabu mereka dalam pertemuan tak terduga berakhir.

☔☔☔

"Ma?"

Mama yang tengah selesai mengeluarkan makanan dari oven tersentak mendapati Pelangi berdiri menatapnya khawatir. Mama tersenyum, menata makanan-makanan di atas meja.

"Udah pulang ya? Yaudah, makan dulu ya, nanti aja ganti bajunya."

Mama di mata Pelangi adalah superhero, ketika ia menarik kursi hingga berdecit mengisi keheningan panjang keduanya. Jendela samping kulkas dibiarkan terbuka, tirainya tersingkap kecil terembus angin, semerbak hawa dingin tapi menenangkan menguasai setiap sisi sudut.

Pelangi duduk manis, merekam setiap tindak gerak gerik Mama yang menyendok nasi ke dalam piringnya. Bagaimana Mama mulai menceritakan hari-hari di toko, bagaimana mama yang mengatakan hal-hal indah, atau bagaimana mama memaknai banyak hal. Semua hal yang keluar dari mulut mama selalu berhasil menenangkan pikiran Pelangi.

Meski tidak lagi sekusut dulu, meski jarang lagi kelabu mengantung pada ujung mata mama, meski senyum mama jauh lebih tulus dari masa-masa kecilnya.

Pelangi menyimpan banyak kegelisahan untuk mereka, ketakutan, kekhawatiran, dan keresahan.

Perasaan yang sama ketika Ibu-ibu tetangga pada perumahan dulu menghujat hidup keduanya. Perasaan takut ketika ketukan-ketukan dan suara-suara keras memanggil depan pintu menagih utang. Kegelisahan yang sama ketika Pelangi merasa sendirian tak bisa berteman dengan siapapun, sebab ia tak punya Papa.

"Makan yang banyak."
Ketika kalimat yang sama keluar dari mulut mama persis seperti ia berusia 6 tahun, ketika hanya ada sepiring nasi dingin serta satu tempe goreng.

Bedanya kali ini Pelangi tak bertanya selayak ia masih kecil kepada mama, bahwa "Apa mama gak makan?" yang kemudian dijawab bersamaan senyum terpaksa mengangguk kepala. "Udah, mama udah kenyang, yang ini punya Pelangi. Habisin ya?"

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang