28. Tempat Meminta Tolong

129 38 12
                                    

Suatu hari, kamu akan berlari menghampiri, tak lagi meninggalkan aku pergi.
Semoga suatu hari, aku tak lagi sendiri.
☔☔☔

Meremas kemeja kotak-kotaknya kesal menepuk dada mencoba menghilangkan sedikit saja rasa sesak dari sana, tapi tak jua reda. Ia sudah terjebak terlalu lama dan terasa mustahil hendak kembali. Buntu.

Merangkak mencoba duduk bersandar pada dinding kamar nan dingin, Hayswl melenguh meraup sebanyak-banyak oksigen, tapi semuanya sudah terasa begitu berubah sangat jauh. Waktu menyeret paksa semua permainan takdir tersaji, kakinya sudah tak sanggup melangkah mengikuti setiap permainan semesta. Lelah sekali, baru terasa sekarang ingin menghilang.

Cowok itu terkekeh ringan, mengingat alasan dirinya dihindari juga dibenci, karena ia terlihat disayang ayah? Persetan dengan omong kosong itu.

Haysel capek, Haysel lelah akan semua hal ini, dunianya seakan telah luluh lantak. Tiada rumah yang bisa dituju, tidak ada tempat yang bisa membawanya pergi untuk pulang. Semua membingungkan, bagian mananya yang harus ia salahkan, bagian mananya yang membuatnya salah. Kenapa di matanya hanya dirinya yang salah. Hanya dirinya yang tak bisa menyelamatkan segalanya.

"Bu, Haysel, gak sekuat itu," bisiknya.

Sunyi merayap mengisi sanubari, tersandar, rintik-rintik hujan masuk melewati jendela terbuka. Dinginnya jauh lebih menusuk, sama seperti bertahun-tahun silam.

Seandainya. Kalau seandainya ia tak pergi keluar bermain hari itu, menemani Ibu menjaga Russel. Apakah sekarang Ibu masih bersama mereka?

Seandainya. Seandainya.

Mengapa kata seandainya malah menyakitinya lebih dalam.

Mengapa tidak ada lagi kesempatan kedua? Haysel tak pernah bisa menyelamatkan apapun, bahkan dirinya sendiri. Terlalu lemah, terlalu lengah, lantas mengapa harus dirinya?

"Harus bagian mana lagi, Bu?" tanyanya memeluk erat pigura membekukan potret mereka bertiga, tengah tersenyum di teras belakang rumah mendengarkan Ibu bernyanyi memangku gitar, senyum ibu terasa abadi di sana, kehangatannya hampa, Haysel tak berhasil mengali jejak-jejak Ibu tinggalkan.

Kamar berantakan itu jauh lebih baik dari hati, tubuh, dan pikiran porak porandanya.

Tuhan, Haysel juga lelah. Bolehkan ia juga menyerah seperti Ibu?

Rumah mereka hanya Ibu, tempat yang menerima mengobati luka. Lantas jika ia tak punya, harus pada siapa? Selain pada Tuhan.

Bolehkah Haysel pulang sekarang? Ia lelah berpergian, menyusun kebohongan, membibit tawa, memperbaiki sesuatu tak pernah bisa diperbaiki.

"Apa bedanya rumah dengan pulang, bu?"

"Sepanjang jalan komplek isinya rumah-rumah, sekarang Ibu tanya kenapa Ael gak pulang ke semua rumah itu?"

"Karena itu rumah orang lain?"

Ibu tergelak mendapati eskpresi lucu Haysel.

"Rumah dan pulang, itu berdampingan. Rumah bukan berarti sebuah bangunan, tapi orang-orang di dalamnya."

"Orang-orang di dalamnya? Gimana sih, Bu. Kok Ael jadi pusing nih."

Tawa renyah Ibu adalah candu, Haysel kecil selalu berharap Ibu seperti itu bukan menangis berurai air mata memekik kencang dalam rumah mereka.

"Orang-orang yang menerima dan mengobati, membuat rasa nyaman tanpa ada resah, sakit, dan penuh kedamaian itu yang nama Pulang, yang menerima dan menjaga Ael dari apapun itu."

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang