14. Rumah Itu Seperti Apa?

227 61 35
                                    

Yang jalanannya tak lagi membuatku bingung. Bagian dalamnya terasa hangat, ruang-ruang diisi cerita tawa. Orang-orang yang berbagi bahagia, dan aku bagian kebahagian mereka.
☔☔☔

Bingung.

Ada banyak jalan setiap langkah ia mencari jalan pulang, ada banyak rute setiap lelah ia bawa bimbang. Haysel tidak pernah tahu bahwa menjadi manusia yang kehilangan arah akan terasa semenyedihkan ini.

Matanya menerawang pada gumpalan-gumpulan kelabu mengantung meneteskan sedikit demi sedikit air turun, udara dingin menyergap dan Haysel memilih berhenti sejenak, duduk pada tepi troroar memandangi setiap jejak-jejak tergesa mengores jalanan, menerka-nerka apa saja yang baru dilalui orang-orang.

Tas gitar yang terasa memberatkan pundaknya.

"Ibu di mana?" gumam sendu membaur dalam kelu melekat kalbu.

Kendaraan berlalu-lalang. Semua berputar selayak biasanya, menyipitkan mata menerka-nerka ke mana setiap langkah manusia pergi meninggalkannya sendiri.

Pikiran konyolnya mengambang, ketika sendu kian dalam menyerbu setiap debu kotak kenang ia miliki. Di mana Ibu masih ada di sana.

Bagaimana kalau seandainya ia pergi bersama Ibu atau bagaimana kalau seandainya hari ini ia yang akan pergi.

Seandainya.

Seandainya hari ini ia memilih pulang kepada tuhan, menyerah mengusir sunyi, berhenti meratapi sepi, menutup halaman panjang tentang bagaimana ia dicintai sampai harus dibenci.

"Bu, ke mana?"

Lelah rasanya bertanya pada udara hampa, Haysel mengacak rambutnya mulai tergoda.

Kalau seandainya hari ini ia mati.

Lalu seterusnya apa?

Ketika hidupnya terasa hancur, meski ia tak sanggup membuka matanya tanpa sosok Ibu di sisa panjang harinya. Orang-orang masih tertawa, dunia berputar, pesta berlanjut, cerita berjalan.

Kalau seandainya ia pergi.

Semua orang-orang akan datang berkunjung, rumahnya penuh mungkin akan sesak. Beberapa barangkali akan menangis meski hanya sekadar formalitas, beberapa akan mengatakan kenangan-kenangan indah dan kebaikan dalam dirinya untuk mengenang.

Ada banyak suara mengisi setiap hening sudut rumah, lalu ia akan menjadi pusat sekitar dalam sehari.

Dan mungkin orang-orang itu akan datang, dan dia akan pulang. Menangisi hidupnya.

Habis itu? Semua kembali, orang-orang pergi, beranjak, membalik punggung. Hening kian berdenging mengisi rumah, menyisakan luka sesaat, setelahnya Haysel akan dilupakan. Sama seperti orang-orang meninggal sebelumnya. Riuhnya hanya sementara karena setelahnya sepi.

Pada akhirnya ia akan tetap sendiri.

Haysel tidak ingin seperti itu.
Ia beranjak dari sana menyelusuri tirai hujan.

"Selamat ulang tahun, Bu," bisiknya dalam gerimis.

"Semoga tetap riang dan tenang."

Menghembus napas panjang menyungingkan senyum, memeluk dirinya sendiri.

Pelik yang kian mendelik dalam setiap detik waktu mengaturnya.

"Selamat ulang tahun."

Sisa perjalanan yang ingin ia habiskan menjelajah jalanan, bukan bagian rumah nan menyerbu banyak memoar indah penuh pedih.

"Lari!"

Tubuh Haysel oleng ke samping, payung merah menyala dan pemiliknya berbalik wajah panik menatapnya sebentar sebelum lagi-lagi berteriak.

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang