Sedetik, jantung berdetak, hati yang retak, membelah telak perasaan terbengkalai berkerak. Dan kuharap kelak, kamu tergerak. Merengkuh cepat berpacu detik bergerak, meraihku yang tengah merangkak, takut tertelan jarak.
☔☔☔Haysel tidak berdaya, tubuhnya bergetar hebat, seragam sekolah masih melekat, basah menyelimuti seluruh tubuh. Kebingunan melanda, ia menangis terisak di bawah halte memercikan deras hujan bergemuruh, beberapa kali kilat datang menyambar.
Tidak lagi, jangan lagi.
Ia lelah seperti ini, terjebak dalam bayang-bayangan kehilangan."Jangan gini, jangan gini," racaunya tak jelas.
Tak ia pedulikan lagi buku-buku dalam ransel ikut terguyur air, jemari-jemari basah berkali-kali menghubungi nomor seseorang entah untuk kesekian, nada tunggu lalu berakhir suara operator terdengar sedari tadi. Mengusap wajah kasar, Haysel mencoba mengatur napas mendonggak menyaksikan derai air mengenangi seluruh permukaan kota.
Kakinya lelah melangkah, sore kian menjelang, Haysel merasa hilang. Hilang akan akal. Terlalu bingung hendak bagaimana, ia tertawa pilu, menertawakan dirinya yang lugu, dirinya yang tak pernah mengerti, dirinya yang dipaksa memahami. Memejamkan mata, menyadari bahwa tak satupun yang mau memahaminya kembali. Ia lelah.
Namun, selintas wajah khawatir Mama Pelangi datang menghampiri, bagaimana wanita itu memegang erat payung, sebagian tubuh basah. Tak jua bibirnya bergetar, meski jelas dua bola air matanya nampak kemerahan. Bibir pucat pasi yang kentara jauh berbeda dari hari kemarin.
Sebab ketika Haysel datang ke sekolah hari ini, ia bisa pura-pura untuk tidak pernah jatuh hati, pura-pura untuk tidak mengenali. Menjadi asing dan menjalani kehidupan sekolah yang biasa saja, lalu pindah di tahun ketiga seperti permintaan Ayah.
Meninggalkan Russel, melupakan Pelangi, lalu menghilang dari edaran hidup keduanya tak bertegur sapa.
Kursi keduanya tak berpenghuni pada kelas tadi seharusnya melancarkan aksinya. Meski perasaan terombang-ambing tak menemui tepi, Haysel sekuat tenaga menjalani hari, seperti tak mengetahui apa-apa.Seakan ia tak pernah mengetahui fakta Ibu bunuh diri karena frustasi akan sikap ayah yang begitu tegas ingin menebus kesalahan pada Pelangi. Seolah tak pernah memiliki Bibi yang tiap kali membantunya ketika mengadu meminta bantuan. Selayaknya, hari-harinya yang suram bernyanyi sendirian sebelum Pelangi datang.
Seharusnya begitu. Memang seharusnya begitu, Haysel yang tak boleh berputar pada kehidupan mereka yang tentram.
Tapi melihat Mama Pelangi yang menunggunya di halte sekolah dengan tubuh agak mengigil, hati Haysel tercabik.
"Haysel, kamu lihat Pelangi?"
Haysel hanya mengeleng jujur.
"Ah, begitu. Ya, sudah, terima kasih."
Mama Pelangi berbalik dengan punggung bekas hujan jatuh.
"Pelangi kenapa?" Meluncur juga kalimat yang ia tahan sedari tadi. Punggung sang wanita berbalik tersenyum kecut, ada banyak kegelisahan tergambar di sana.
"Pelangi belum pulang dari kemarin. Nomor ponselnya juga gak aktif."
Haysel bertanya-tanya kapan terakhir kali ia melihat Ibu seperti itu terhadapnya saat kecil.
"Bodoh, Gi!" umpatnya kesal, menghempaskan punggung menahan dingin merambat.
Wajah Pelangi terbayang-bayang tiap kali ia memejamkan mata, dengung hempasan hujan memenuhi telinga, tapi obrolan, suara halus Pelangi memutari otak, berbisik pelan bagaimana gadis itu tersenyum, berlarian, berjalan ke arahnya, berhenti di depan Haysel, tersenyum cerah sampai kedua matanya menyipit, melengkung selayak bulan sabit, pipi kemerahan memberi tumpangan payung, rela menunggunya tengah tersedu dalam diam. Memegang erat tangan menangkan tanpa kata. Haysel merasa begitu bersalah jatuh cinta pada sosok itu, seharusnya tak pernah. Tak pantas. Tak seharusnya. Ketika mencoba mengatakan hal tersebut terus-menerus ke dalam lubuk hati, dadanya sesak, tenggorakannya tersekat. Sealun lembut suara Pelangi di tepi trotoar bersamanya memandang toko kue depan mata, pengakuan luar biasa yang entah kenapa terdengar manis. Haysel diam-diam menyimpan keirian mendalam.
"Kamu mau tahu satu rahasia gak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Desir Arah
Teen FictionJauh sebelum lintang bintang memudar Dia pernah berpikir ke arah mana kaki melangkah Dengan rasa lelah memuncah Tertatih-tatih kehilangan arah Lalu suatu ketika dipenutup oranye cerah Tangannya mengepal menemukan rumah Yang tak pernah menjadi perna...