Kamu adalah satu-satunya arah bagiku untuk pulang. Jangan pernah menghindar karena aku mungkin akan menghilang.
☔☔☔
Tubuhnya bergetar ketakutan, langit kelabu menumpahkan setiap rintik tangis menghantam permukan seluruh kota, rintik-rintik mencipta bunyi suram. Dari arah kaca jendela yang dibiarkan terbuka, ia terpaku, lantai terasa begitu menyengat kulit. Dingin.
Matanya membulat, tubuhnya bergetar.
Gentar akan fakta yang tersaji begitu saja.Takut.
Takut.
Takut.Deras hujan masuk memercikan air membasahi isi rumah, merembes mengisi kekosongan seluruh ruang. Tirainya berterbangan kencang, udara dingin mencengkam kuduknya keras, menjadikan napasnya terasa begitu sesak, lalu ikut menghening panjang.
Ruangan yang hanya memiliki cahaya redup itu menjebaknya, dalam kelam gulita membutakan hati dan perasaannya.Setiap tetes darah mengalir dari nadi sang Ibu jatuh mengenang menghiasi lantai, seolah berkata, bahwa ia hanya ingin menjadi kenang yang telah usai usia. Duduk pada kursi menghadap keluar jendela, wajahnya pucat, mata menutup rapat, dengan seruat ketenangan menghiasi. Warna merah bercampur air hujan mengaliri satipa lekuk garis lantai. Amis, bercampur aroma petrikor luar sana.
Televisi yang dibiarkan menyala sedari tadi riuh menampilkan pembawa berita membahas cuaca hari ini. Hujan badai katanya, disertai kilat dan guntur memekik kencang.
Anak laki-laki berumur 7 tahun itu terdiam cukup lama, mendekat ragu-ragu, memungut cutter terjatuh. Sebab kata Ibu, jangan meletakan benda tajam sembarangan di lantai, nanti terluka. Terluka itu sakit, dan kata Ibu anak laki-laki tidak boleh menangis karena terluka."Ibu?" panggilnya.
"Ibu?"
Tidak ada jawaban terdengar selain rintik kian deras, dan deru hujan ribut, tangannya gemetar menyentuh permukan wajah dingin terasa membeku, terasa lebih dingin dari es batu dalam jus jambu dibuatkan Ibu dua hari lalu. Helaian rambut coklat halus berjatuhan manampilkan seberapa putih bibir biasanya Ibu cat dengan krayon di meja riasnya. Anak kecil itu tidak tahu apa namanya, tapi katanya benda tersebut sejenis pewarna.
"Ibu!" teriaknya takut.
"Ibu bangun!"
Suaranya berusaha mengalahkan hujan deras kian memendam detak.
Kilat menyambar kencang, tubuhnya terjatuh memeluk erat ibu.
Dia takut.
Sungguh."Ibu, bangun," bisiknya.
"Ibu jangan pergi, Uel takut sendiri."
Otaknya memutar pada siang panas kemarin, di mana ia diam-diam memecahkan pot bunga mawar belakang rumah, barangkali itu sebabnya. Barangkali itu sebab mengapa sang Ibu tak kunjung membuka mata menjawab seruannya.
"Jangan hukum Uel, maafin Uel."
Pipinya memerah, menahan tangis.
"Uel janji gak nakal lagi."
Naik ke atas pangkuan sang Ibu menangkup wajah pucat itu, menepuk-nepuk berharap terbangun.
"Nanti Uel bakal tanem yang bagus. Nanti Uel bakal bantu Ibu di kebun, tapi Ibu harus bangun."
Tangisnya mengeras bersamaan dengan derap langkah terburu-buru masuk menuju ruang itu.
"Maafin Uel!"
Detik berikutnya tubuh munggilnya dilempar ke arah dinding kencang. Dinding yang terasa mematahkan punggung, lidahnya tergigit menghasilkan darah. Syok. Dunia seakan berhenti seperkian derik, bersamaan rasa nyilu menguasai tubuh munggil itu.
"Apa yang kamu lakukan?" Bentakan kencang mengema. Seraut wajah ketakutan anak kecil itu tergambar begitu jelas, air mata jatuh, dadanya mendesak sakit. Wajah merah milik sang ayah membara, tangan mengepal menarik kerah piyama, menggangkat tubuhnya seolah bukan apa-apa. Lehernya tercekik, jemari munggil itu mengapai minta dilepaskan dengan napas putus-putus dihiasi keringat dingin mengucur.
Sungguh ia tidak tahu apa-apa.
Tidak mengerti mengenai apa pun tengah terjadi.Tidak tahu.
Tidak tahu.Mencoba meraup oksigen sebisa mungkin, matanya terasa memburam.
Tubuhnya lagi-lagi dilempar kencang menghantam sudut meja ruangan. Tersungkur keras, tergolek tak bertenaga.
"Pembunuh! Pembunuh!"
Dia tidak tahu pada siapa kata tersebut ditunjukan. Tapi ia tahu, bahwa di rumah hari itu hanya ada dirinya, ayah yang baru pulang dan Ibu tengah tertidur berhiaskan cairan merah di tangan.
Bibirnya kelu, harum amis tercium kencang, rasa mual menyerang, sedangkan kepalanya terasa hendak ingin pecah.
Dari pelipis kiri, aliran hangat memasuki mata, agak perih lalu telinganya berdengung kencang.
Lebih dari itu semua, ia terbatuk beberapa kali, mendengar beberapa umpatan kasar. Lalu diam-diam berdoa kepada tuhan. Bahwasanya, jika boleh ia hanya ingin bersama Ibu.
Jika ini mimpi, biarkan dia terbangun mendengar lagi suara merdu Ibu.
Tolong, sekali ini saja.
Tuhan, ia takut.Kemarahan menciptakan kabut membutakan hati.
Katanya menjadi orang dewasa sangat sulit, tetapi terkadang mereka lupa mengenai anak-anak adalah penyimpan memori terbaik.
Dan satu lagi.
"Ayah."
***TBC***
9 Januari 2019
Note:
Oke, ini revisi alur, prolognya aku ubah sesuai kebutuhan. (~º△º)~ Cerita ini bakal bener-bener dimulai dari awal lagi.
Senin, 4 April 2022
Tempe kah anda? Bahwa saia hobi revisi prolog berkali-kali ampe nemu yang pas?(~˘▾˘)~
KAMU SEDANG MEMBACA
Desir Arah
Teen FictionJauh sebelum lintang bintang memudar Dia pernah berpikir ke arah mana kaki melangkah Dengan rasa lelah memuncah Tertatih-tatih kehilangan arah Lalu suatu ketika dipenutup oranye cerah Tangannya mengepal menemukan rumah Yang tak pernah menjadi perna...