31. Pertemuan Kembali

132 35 2
                                    

Tidak bisakah sekali saja, sekali saja,
untuk aku menjadi alasan manis dalam hidupmu.
☔☔☔

Kebingungan memegang payung merahnya agar tak terlepas menilik ke arah langit, dari sela kelelahan berjalan, Pelangi terduduk mencari, merenungi banyak hal menghitung satu persatu hal depan mata nan beranjak jauh.
Punggung-punggung berbalik dalam tirai hujan, tempat-tempat asing yang belum pernah ia injak sebelumnya. Suara langkah bergemericik genangan jalanan.

Dalam dinginnya hujan menguyur kota, kelam malam menjelma dari sebalik jingga langit beberapa jam lalu.

Tubuh Pelangi bergetar menahan dingin, memeluk diri terdiam sejenak, bersandar letih. Ransel sekolah berat akan roti-roti serta botol air.

Hening sekitar menjebaknya jauh memasuki ketakutan.

Bukankah semua hal buruk akan diganti oleh Tuhan menjadi hal baik?

Bibirnya mulai ikut bergetar tak sanggup menahan suhu beku.

Benaknya bersuara lantang, lalu bagaimana kalau ternyata hal buruk adalah dirinya.

Pelangi dan segala anak-anak pikiran yang tak pernah diam ketika sendirian.

Irisnya terbuka, menunggu entah untuk apa. Menutup payungnya mencari sebuah ruko tersembunyi untuk berteduh. Entah bagaimana nasib Russel saat ini, tapi yang pasti menyelusuri perkotaan ini tak butuh hanya waktu sehari. Bibir Pelangi bergemelatup, mengusap jaket merah mudanya mencoba menghangatkan. Menyalakan layar ponsel yang sengaja ia pasang mode pesawat, pukul sembilan malam, batrei menunjukan 44% Pelangi mematikannya untuk jaga-jaga.

Menghabiskan malam di bawah ruko bersama seorang anak kecil meringkuk beralaskan karton kecil.

Pelangi tercenung. Betapa dunia tumpang tindih, orang-orang hidup berjalan, berlalu, tertawa, riang.  Sebaliknya berupa sedih merambat ujung-ujung plosok kota, bagaimana langkah tertatih beratap bangunan milik orang lain, melebarkan kertas kecil menghalau debu semen berharap hangat direngkuh gulita.

Pelangi memilih tak bersuara, melimpir ke samping bersembunyi belakang tong sampah besar, walau agak bau setidaknya ia masih bisa menyelamatkan diri dengan cara ini. Melindungi diri dari otak-otak mesum maupun penjahat-penjahat menjarah miliknya. Berbalik memeluk ransel mencari kehangatan, Pelangi duduk bersandar. Mencoba menghabiskan sisa malamnya.

Ia sudah sekuat tenaga mencari Russel, ia harus menemukannya selayak Russel menemukan dirinya.

Perjalanan terasa panjang, Pelangi mengepak apa saja yang ia butuhkan, kotak obat, senter, makanan, air minum, notes kecil, sisa uang tabungan tak seberapa. Tak ada niat untuk pulang karena tahu bahwa mama akan melarangnya ikut mencari jadi tak apa. Hanya sekali ini saja. Ia akan melakukannya. Hitung-hitung menebus rasa bersalah sebab sudah terlahir ke dunia.

Malam tanpa bintang ditemani gemercik hujan deras, Pelangi bertanya-tanya ke mana hendaknya Russel pergi berjalan?

Apakah ke rumah papa mereka? Pelangi tersenyum kecut. Ia tidak tahu di mana itu, tapi melihat reaksi Haysel yang tak tahu apa-apa mengenai keberadaan Russel, jelas itu bukan jawabannya.

"Ma, dingin."

Dulu dalam rumah kecil kontrakan mereka, meski pernah digedor om-om menyeramkan menagih utang, Pelangi tidak pernah merasakan kedinginan. Mama akan mendekapnya erat memberi selimut lebih banyak sambil berucap manis "Tidur yang nyenyak."

Mengusap telapak tangan sendiri, Pelangi memejam mata membayangkan mama memeluknya hangat, menciptakan ruang besar, duduk pada tempat yang empuk lalu terlelap.

Dan itu adalah bagaimana Pelangi menghabiskan satu malam terasa panjang dalam hidupnya mencari Russel.

Melanjutkan perjalanan panjang mencari jejak-jejak tertinggal milik Russel, mengunyah roti dengan mulut mengembung tiap langkah.

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang