12. Ma, Apa sakit?

179 60 19
                                    

Apa sakit? Hati yang terjangkit sepi, terjepit antara realita menyuruh bangkit. Meski berakit-rakit tak menemu tepi, apa yang harus kuletak agar tak sakit?
☔☔☔

"Mama?"

Suara nyala televisi mengema mengisi keheningan, langkah Pelangi mengebu-ngebu masuk menemui seorang wanita yang kini tengah sibuk menonton saluran televisi menampilkan sinetron istri tersakiti.
Mama menoleh mendapat Pelangi yang kini telah mengambil tempat nyaman bersandar di bahunya. Meski wajah mama telah menampilkan kerutan-kerutan, umur yang telah menua termakan waktu. Senyumnya selalu menjadi favorit, Pelangi selalu menyukainya sebagai hadiah kecil ketika mama tidak lagi sibuk bekerja.

Mama mungkin tidak pernah tahu bahwa, rumah yang terasa remang-remang itu, terasa lebih hangat ketika mama ada di dalamnya.

Jemari mama mengelus pucuk rambut hitam Pelangi sebelum kemudian berucap sadis, "Bau acem."

Pelangi tertawa menanggapi.

"Mandi dulu sana, tadi mama beli dendeng lho."

"Yang goreng atau bakar?"

"Yang dibakar dengan setulus hati sama uda padang rumah makan."

Pelangi lagi-lagi tertawa.

"Mandi sana, terus turun makan bareng-bareng."

"Siap Ibu Negara."

Si gadis berdiri berlari menaiki tangga.
Rumah mereka berisi Mama dan Pelangi, hanya mereka berdua. Pelangi senang, walau awalnya ia pernah berteriak menangis histeris pulang dari sekolah menenteng tas lebahnya yang putus. Matanya bengkak berumur air mata, sudut pipi yang terkena kotoran tanah. Bibir mengerucut berguman dengan napas ngos-ngosan membuka pintu rumah. Mama yang tengah memasukan kue kue ke dalam kotak tersentak. Pelangi kelas dua SD, badannya kecil, rambut terkuncir acak-acakan.

Saat mama bertanya siapa yang membuat ia menangis, ia menjawab lantang "Papa!"

Mama tersentak menarik Pelangi ke dekapannya mengusap punggung dengan tubuh bergetar meski secuil hati rada berdenyut nyeri.

"Kenapa papa?"

"Kalau Papa ada, Pelangi gak akan dibilang anak punggut." Suaranya sesegukan.

"Ka-kalau Papa ada Pelangi pasti punya teman."

Lalu setelahnya ia menangis kencang.

"Tapi Pelangi, kan punya mama?" tanyanya Mama halus.

"Ta-tapi yang lain bilang, Pelangi gak punya papa."

Mama menangkup kedua pipi temben tersebut, menyeka setiap air mata terjatuh.

"Terus kenapa?" tanya mama.

"Mereka gak mau temenan sama Pelangi karena gak punya papa."

Kalimat tersendat-sendat dalam isak tangis kecil itu, mengantarkan pilu mengantungkan seribu kelabu sendu di ujung mata mama. Memeluk erat putrinya menyalurkan kehangatan, mencoba meredakan sakit yang kini seakan terhubung ke jantungnya.

"Pelangi kesepian ya? Maafin mama ya? Mama yang salah."

Bulir hangat berjatuhan menuruni pipinya.

"Maafin mama ya? Ini salah mama."

Pelangi kecil mendongak, menangis kian keras mengusap pipi sang mama.

"Mama jangan nangis," katanya sedu.

"Bukan mama."

Tangisnya kian menjadi kian mengeras.

"Bukan salah Mama," bilangnya.
Mama dibuat kelimpungan akan reaksi besar Pelangi mengenai itu.

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang