19. Pemakaman Ibu

148 50 7
                                    

Kamu baik, sungguh.
Karena kebaikanmu, semesta menguji sampai ke lubuk kalbu. Menyakiti semua yang dimiliki, menghilangkan hampir separuh hati. Kamu baik, sungguh.
Semesta hanya kesal karena kebaikanmu.
☔☔☔

Keberanian adalah satu-satunya yang Russel tidak punya. Terus terjebak dalam ketakutan masa silam, berputar-putar dipenuhi keraguan.

Memulung waktu-waktu dulu, Russel mencoba merenung dengan jangka waktu panjang. Sudah lama semenjak terakhir kali ia pulang ke rumah. Rumahnya ketika ia masih kecil dulu, menikmati masakah Ibu di dapur, mendengarkan banyak cerita Ibu di teras belakang, mendengar senandung pengantar tidur setiap malam harinya.
Ia hafal alamat rumah itu di luar kepala. Sungguh, Russel tahu letak denah, arah yang bisa membawanya ke sana. Tapi Russel takut terluka.

Jika Pelangi adalah warna-warna indah yang dunianya punya langit merah stroberi, penuh tanaman bunga. Milik Russel berupa luapan kaca pecah, langit dengan air hujan terus menerus jatuh, tanaman berduri, serta jebakan di mana-mana. Hidupnya terasa resah.

Pada akhirnya ia menuju Ibu tanpa ia mau sebelumnya.
Sudah lama sejak terakhir kali ia ke sini, dua tahun yang lalu mungkin? Entahlah, ia tidak terlalu ingat. Tempat pemakaman umum, ia butuh banyak waktu mengumpulkan keberanian agar bisa kembali menjenguk, kembali merasakan kehilangan.

Memperbaiki kacamata melorot, Russel terduduk, menebak-nebak siapakah gerangan seseorang nan datang lebih dulu menabur kembang pada kuburan milik Ibu.

"Ibu, apa kabar?" tanyanya dengan suara bergetar, meletakan dua buah bunga krisan kuning yang ia petik dari pot bunga milik Bibi Airi. Sebab ia tidak modal membeli bunga dan tak tau juga harus beli di mana.

Siang terik sehabis pulang sekolah itu membawa Russel pada retetan masa lalu yang tak kunjung usai menghantui hari.

Ia ingin bertanya mengapa? Mengapa Ibu memilih untuk pergi sendiri?

Kenapa Ibu tidak membawanya ikut bersama.

"Bu, Russel kangen. Kangen banget."

Russel 7 tahun, rambut coklat terang mencolok memandangi sesi demi sesi Ibu yang dibiarkan tertidur dalam tanah.

Jika anak kecil kebanyakan akan meraung menangis keras, maka anak laki-laki di keramaian kerumunan pelayat hanya diam memandang kosong. Ia tak menangis, ia tak mengeluarkan tetes air mata, sebegitu kejamnya ia dididik lebam bukanlah masalah besar, perban-perban menempel bukanlah sesuatu ditakutkan.

Batu nisan dengan tanah mengembung, membuat ia tak mengerti mengapa kehilangan menjadi alasan seseorang membenci.

Ia terduduk samping Bibi Airi memohon maaf dalam isak tangis kencang, menunduk dalam pada pria tua menyebalkan menggenggam erat payung hitam. Arta suami bibi Airi memeluk istrinya berusaha menenangkan.

"Maaf, maafin kakak." Mohonnya.

Anak laki-laki itu hanya memainkan kelopak-kelopak kembang yang tersiram atas tanah. Tatapan kebencian masih tertanam kuat memori lampau, tidak ada yang tahu cara otak kecilnya berpikir.

"Kami akan membawa Russel pergi," celetuk sang suami.

Tanah merah pemakaman nampak sangat asik dimainkan anak laki-laki itu, menghiraukan orang-orang dewasa dekatnya. Ia seakan tercipta untuk tidak peduli akan banyak hal.

Manik coklat madu dalam rintik hujan ringan mengkilap kesal, pipi tembamnya penuh luka, rambut coklat acak-acakan tak disisir. Ia bergumam pelan tak sampai ke telinga setiap orang dewasa mengelilingi tanah kuburan baru itu.

Wajahnya menunduk dalam.

"Maaf, aku kelepasan, maaf," ujarnya membalas menunduk penuh rasa bersalah, mengepalkan tangan hingga buku-buku memutih.

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang