20. Tentang Keluarga Russel

143 46 5
                                    

Ada yang lebih kelam dari pekat malam yang menjelma menjadi duka berpasang luka.
☔☔☔

Manusia-manusia dewasa selalu berpikir bahwa, masalah mereka jauh lebih besar dan dapat menghancurkan semesta.

Dari balik mata milik Russel kecil yang tidak tahu apa-apa tentang dunia. Keluarga mungkin memang seharusnya seperti keluarga yang ia punya. Yang di dalamnya Ibu dan Ayah kerapkali bertengkar. Akan selalu ada konflik dalam setiap hubungan, dan guru di sekolah bilang pertengkaran ada untuk mengakrabkan dua pihak. Jadi Russel kecil mempercayainya.

Lalu sampai pada suatu waktu pada sebuah pertempuran paling hebat di dalam rumah milik mereka. Russel kecil tahu pada bahwasanya Ayah tidak mencintai Ibu dan Ibu cemburu karenanya.

Teriakan nyalang, bantingan benda kasar.

"Kamu harus tahu saya menikahi kamu cuma karena perjodohan tidak lebih!"

Ibu punya pikiran berbeda dari Ayah.

"Tapi aku mencintai kamu! Kalau kamu benar-benar tidak bisa mencintai aku kenapa waktu itu kamu gak nolak perjodohan ini."

Ibu barangkali tidak pernah tahu, dan Ayah mungkin tidak semudah itu memberi alasan. Pria itu mengusap wajahnya gusar, gusar akan semua hal yang telah menimpanya. Ia marah, sangat. Waktu 'selamanya' itu sangat panjang, berada di samping orang yang tidak dincintai sangatlah berat. Omongan tentang cinta akan tumbuh seiring berjalan waktu adalah mitos besar dalam hidupnya. Sebab keduanya bertolak belakang, tidak bisa saling memahami, dan tidak bisa saling melengkapi. Selayaknya puzzel yang salah tempat, atau rubik berbeda warna, keduanya seharusnya tidak pernah bisa menyatu.

"Liat aku! Liat apa yang udah aku kasih ke kamu. Hidupku! Masa depanku!"

"Kamu juga harus lihat saya! Saya menghancurkan banyak hal termasuk hidup saya sendiri!"

"Terus aku harus bagaimana?" Ibu tersedu meremas ujung setelan baju tidurnya, lelah. Dapur yang berantakan itu terasa lebih kelam, beberapa benda tidak berada pada tempat yang tepat, pecahan beling berserakan. Tak jarang orang-orang dalam rumah itu mengalami luka-luka, bukan sekadar goresan kulit belaka, tapi hati juga.

Ayah juga pusing sungguh, mencintai orang tidak dincintai adalah usaha berat, namun di waktu sama kehilangan sosok dicintai di depan mata sungguh menyakitkan. Bapak dari Ayah mengalami serangan jantung akibat stroke, rasanya begitu tidak tega untuk tidak mendengarkan permohonan dari lelaki tua itu. Mengingat ada banyak keringat serta tenaga ia tempah untuk menghidupi dirinya dari kecil hingga besar. Maka meski berat ia menerimanya.

"Aku harus bagaimana lagi?" Ibu bertanya entah untuk siapa, terduduk pada pojok dapur, dengan dada sesak serta luka lebam hati. Rambut coklat panjangnya begitu berantakan, manik coklat madu miliknya menitikan hujan.

"Kenapa mencintai kamu bisa serumit ini?"

Ibu juga kehilangan, kehilangan mimpinya menjadi seorang pemusik terkenal. Bernyanyi dari panggung ke panggung, memetik senar gitar, menikmati hiruk pikuk euforia khayalak ramai. Menulis setiap gores lirik lagu, tengelam dalam nada serta melodinya. Tapi lagi orangtunya tidak pernah mengizinkan untuk lebih. Sebab katanya wanita tak lebih baik selain menjadi Ibu rumah tangga, menjadi pemusik tidak akan memiliki masa depan cerah, dan hari itu ia ditarik paksa menikah. Menerima segala, karena tak berdaya akan setiap kalimat menusuk kedua orangtuanya.

Dan naasnya dalam perjodohan itu, ia jatuh cinta lebih dulu. Jatuh sedalam-dalamnya tanpa menerima balasan cinta.

Ayah juga geram akan kehidupan keluarga mereka, marah, membentak, berteriak, melempar barang, semua semata ia lakukan untuk mereda kecewa pada sudut hati. Namun tiap kali ia mendapati pasang-pasang mata anaknya dari sebalik pintu. Ayah frustasi, menyalahkan dirinya. Menyumpahi diri sendiri. Benci akan dirinya yang begitu brengsek melakukan ini semua, maka kadang-kadang Ayah membuang muka meneteskan air mata mengatur suara, mengacak rambut kelamnya.

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang