Nanti kalau terluka, aku akan bilang pada semesta. Tidak apa-apa asal luka bukan dari duka, nanti sembuh, nanti luluh. Luka jenuh pergi jauh, sebab kamu harus bahagia.
☔☔☔Haysel dan tas gitarnya memang tidak pernah terpisah beberapa hari ini, menunggu di halte bersama menunggui tempat duduk untuk Pelangi meski harus marah-marah dulu sama siswa-siswa di sana.
"Geser anjir! Di sana gede."
"Kaga muat!"
"Ransel lo singkirin dulu, dia gak butuh duduk, bisa lo pangku."
"Gue mager, ransel butuh duduk," balasnya tak kalah sewot. Nyari gara-gara memang anak bujang satu ini, belum tahu saja ia sudah banyak kali membuat kakak kelas mengertak gigi ingin menonjok wajah mulus itu.
Tampang senggak Haysel gemas sekali ingin diuyel-uyel sampai jadi adonan donat biar bermanfaat. Dari arah gerbang Pelangi datang memegang tali ransel abu-abunya celingak-celingguk dari saku seragam notes miliknya menonggol apik. Haysel yang melihat pujaan hati menampakan batang hidung dengan heboh melambaikan tangan.
"Gi, Pelangi! Sini Gi."
Haysel menarik lengan Pelangi untuk duduk setelah mengambil ranselnya pada bangku halte, tidak menyadari orang-orang yang tidak kebagian tempat duduk sedari tadi hanya bisa mesem-mesem mengumpati jiwa bucin anak muda satu ini. Haduh. Mana Pelangi wajahnya polos-polos banget jadi greget liatnya.
"Duduk cantik-cantik di sini."
"Nyet, bucin jangan nyusahin orang-orang." Satu celetukan membuat mata Haysel memincing siap mengeluarkan sinar laser membelah orang yang bicara.
"Pantat siapa tuh yang ngomong?" tanyanya acuh.
"Haysel, kayaknya aku berdiri aja deh."
"Gak! Gak ada! Enak aja. Duduk balik."
Cowok itu mengabaikan tatapan-tatapan sinis untuknya, ia sudah kebal ditatap begitu sepanjang hidup yang penuh keusilan dan kegregetan orang-orang padanya. Apakah ia peduli? Tidak sama sekali, mending ngorok dianya. Memegang lengan Pelangi agar tidak beranjak dari tempat duduk yang sudah susah payah ia pertahankan sejak tadi. Haysel merayap mengengam erat tangan Pelangi tengah duduk sampingnya, beberapa yang berdiri mencebir, beberapa lagi mengerutu melihat sepasang makhluk yang tengah ingin menguasai bumi dan membiarkan penghuni lain terdampar dalam kejombloan masing-masing. Pelangi sih nampak tidak masalah, ia senang bisa dapat tempat duduk, tapi ia juga rada was-was kena cakar orang-orang sana.
Langit terik menampilkan kepulan-kepulan awan berbagai ukuran berlalu lalang menghiasi angkasa, embus angin yang menerpa mengugurkan dedaun dari pohon besar menjuntai ke trotoar jalanan. Kerumunan siswa menunggu jemputan berada sepanjang trotoar depan sekolah.
Meski rada sulit melihat angkot kuning lewat sebab badan orang-orang yang menghalangi pandangan, Pelangi mencoba membuka kembali notes dikembalikan Russel padanya. Ia tersenyum kecil mengingat betapa tinggi gengsi Russel. Ia tahu walau keliatannya tidak peduli, sebenarnya Russel sangat perhatian.
"Gi?"
"Iya?"
"Mau gue anterin pulang gak?" Ide tersebut tercetus begitu saja ketika ia melirik notes milik Pelangi, beberapa coretan aneh pada halaman membuat si cowok penasaran. Lalu berdehem kecil.
"Gak usah, aku bisa pulang sendiri."
Mata bulat Pelangi selalu nampak berbinar tertimpa sinar matahari, rambut hitam kepangnya terlihat begitu lembut.
"Kenapa? Gue anterin ya? Sekali aja."
"Hum? Kenapa?"
"Gi, bidadari gak boleh pulang sendirian, nanti dijemput malaikat pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Desir Arah
Teen FictionJauh sebelum lintang bintang memudar Dia pernah berpikir ke arah mana kaki melangkah Dengan rasa lelah memuncah Tertatih-tatih kehilangan arah Lalu suatu ketika dipenutup oranye cerah Tangannya mengepal menemukan rumah Yang tak pernah menjadi perna...