Seberapa riuh pun kerumunan mendesak, aku akan dan harus selalu bisa berhasil menemukan suara milikmu
☔☔☔Kelabu mengantung menghiasi angkasa, langit yang terlihat lebih sendu dari biasanya. Keriuhan jalanan serta para pejalan kakinya mengisi kekosongan, embus angin menerpa rambut hitamnya, mengacak-acak kacau. Haysel terduduk pada tepi trotoar guna menyesap betapa dingin dunia luas ini untuknya. Matanya menatap sayu seberang sana, pada toko roti ramai pengunjung. Menilai setiap orang-orang melewati hadirnya, lembar-lembar dedaunan luluh dari pohon besar berserakan pada jalanan.
Haysel tidak beranjak memilih memperhatikan banyak hal sendirian, salayak kebiasaannya sejak semua orang pergi dari hidupnya satu persatu.
Tas gitar tersampir di punggung, kedua tangannya terlipat pada kedua lutut.Earphone yang dibiarkan menyala melantunkan melodi-melodi akhir-akhir ini menemani waktu sepi.
Dari seberang sana, pintu toko roti kembali terdorong, Pelangi keluar dari sana membawa dua cupcake beda rasa di kedua tangannya. Rambut yang selalu dikepang, pakaian rapi dengan rok berwarna krem selutut. Celingak-celinguk memastikan sebelum menyebrang setengah berlari. Senyum Haysel mengembang melihat tingkah laku Pelangi.
Gadis itu kini telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum lebih lebar, harum stroberi samar-samar memasuki indra penciuman. Mendapati Pelangi yang begitu manis mengulurkan Cupcake stroberi kepadanya, Haysel terkekeh menerima. Menatap makanan itu beberapa detik.
"Makasih."
"Sama-sama," katanya duduk di samping, ikut-ikutan memperhatikan jalanan mulai mengigit cupcake miliknya.
"Kamu, ngapain sendirian di sini?"
Suara Pelangi yang lembut selalu berhasil memgalihkan perhatian Haysel, cowok itu menoleh memperhatikan betapa lucunya Pelangi, hidungnya yang terbilang tak terlalu mancung dengan bibir ceri terkena krim.
"Tadi gue berhenti karena takjub ngeliat sesuatu."
"Apa tuh?"
"Lo liat di sana." Haysel menunjuk toko roti tadi.
"Ada banyak makanan manis di sana. Tapi tau gak apa yang lebih manis di sana?"
"Brownies coklat?"
Haysel tertawa.
"Lo, Gi."
"Hah?"
"Pelangi Anjani."
"Oh, kamu hapal namaku," balasnya takjub, bikin Haysel mengelus dada saja.
Haysel akui kalau gombalannya super mainstream, tapi jangan gitu juga dong. Haysel berasa ingin menyelam ke kolam terdekat buat menghilang.Namun sesuatu tentang Pelangi adalah hal luar biasa bagi Haysel, mungkin Pelangi tidak pernah ingat, tentang bagaimana awal mula mereka berdua bertemu pada satu titik semesta yang perlahan mengelap, tapi Haysel akan selalu ingat bagaimana langkah kaki si gadis menemukannya dalam gulita hampir melahapnya sendiri dengan penerangan redup nyaris habis.
Awal mulanya pada plaza terbengkalai setelah senja baru menguasai langit, kelas 3 SMP, dengan masih menggunakan seragam sekolah, di dalam bangunan gelap lantai dua pada salah satu ruangan berdekatan akan jendela dibiarkan terbuka lebar membawa hawa lebar masuk. Haysel duduk menyalakan dua lilin besar sebagai penerangan, jaga-jaga nanti kalau sudah benar-benar gelap, rambut hitamnya memasuki mata.
Ruangan dengan penuh debu tebal, ransel hitamnya tergeletak begitu saja.
Saat itu Haysel sedang kabur, ceritanya lagi ngambek karena Ayah membentaknya saat pulang sekolah kedapatan bolos dan malah ngeband.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desir Arah
Teen FictionJauh sebelum lintang bintang memudar Dia pernah berpikir ke arah mana kaki melangkah Dengan rasa lelah memuncah Tertatih-tatih kehilangan arah Lalu suatu ketika dipenutup oranye cerah Tangannya mengepal menemukan rumah Yang tak pernah menjadi perna...