5. Tragedi Pohon

304 87 8
                                    

Kuharap nanti, esok, atau selanjutnya
tak ada kelabu menguasai tatapan hampa itu.
Sebab kamu bagian semesta berhak bahagia.

☔☔☔

Selayaknya sebuah kewajiban, Haysel mengendong Pelangi di pungungnya, sang gadis tentu hanya mampu menurut setelah dipaksa. Terik matahari di jam pelajaran olahraga, serta lomba lari menyebalkan dipilih sang guru sebagai pelajaran hari ini, merupakan salah satu alasan mengapa Haysel sekarang mengendong Pelangi naik ke lantai atas sekolah ruang UKS yang terletak cukup jauh, melewati banyak anak tangga. Haysel bahkan terbesit akan encok dalam waktu dekat, dan berakhir di tukang urut.

Hal ini bukan terjadi karena si gadis pingsan karena terik matahari, kejadiannya lebih konyol dari hal itu.
Saking konyol Russel menepuk jidat sendiri tak bisa berkata-kata.
Dengan baju olahraga kebesarannya Pelangi yang notabenya tidak pernah punya lisensi khusus untuk memanjat pohon, nekat memanjat sebuah pohon dekat lapangan basket, tidak ada yang tahu itu jenis pohon apa, namun yang pasti Haysel pun tidak begitu ingin tahu.

Sejujurnya mengapa Pelangi bisa memanjat pohon itu guna menyelamatkan seekor kucing? Tapi malah lupa caranya untuk turun?

Bukannya ikut baris-berbaris untuk mendengarkan intruksi pemanasan dilakukan wakil ketua kelas, gadis itu malah nongkrong di atas pohon selayaknya mbak kunti nyasar memeluk kucing, geram juga rasanya jadi ketua kelas mengingat anggotanya yang satu malah hilang begitu saja, malah melambaikan tangan dengan begitu lincah saat diabsen guru.

"Ngapain kamu di atas pohon? Mau terbang?" Guru olahraga berkepala plontos tersebut mulai protes menggunakan ciri khas kalimat sinisnya, bibirnya monyong-monyong ke depan. Tapi memang pada dasarnya saja Pelangi itu terlalu polos bukannya merasa tersindir gadis itu malah tersenyum manis sambil mengelus kucing.

"Iya kali pak, dia kan bidadari. Mungkin mau balik ke surga," celetuk Haysel sebelum mendapat tatapan tajam dari guru.

Jangan tanya ada berapa kikikan tahan tawa dari balik adegan tersebut. Muka Russel malah memerah sempurna manahan malu, sungguh ia ingin hilang saja pura-pura tidak tahu siapa Pelangi.

Haysel yang notabenya tidak bisa menahan lagi gelakarnya, menutup mulut sambil menekan perut geli.
Ya tuhan, tercipta dari apakah seorang Anjani Pelangi, sehingga ia sepolos ini?

"Turun kamu!" teriak guru.

Si gadis memandang arah bawah, mengayunkan kaki. Ia mengerjap beberapa saat memperhatikan hijau rumput di bawah sana.

"Anu, pak," cicitnya pelan mengantung ucapan.

"Apa?"

"Pelangi gak bisa turun," lanjut Haysel menirukan gaya Pelangi nan lembut gemulai, disambut anggukan mengiyakan oleh si gadis.

Beberapa bayangan kepala-kepala siswa dari kelas berkelebat pada jendela. Bagi Russel Pelangi terlalu konyol sebagai seorang gadis.

"Bisa naik tapi gak bisa turun? Apa kata dunia Pelangi?" Si guru mulai tidak santai akan keberadaan siswinya tersebut, memijit kepala seakan mendapat bencana besar. Pelangi menyengir mengayunkan kedua kakinya, habisnya ia juga tidak tahu bahwa dunia bisa berbicara, ada-ada saja gurunya itu.

Kucing pada pelukannya nampak adem ayem menikmati sepoi-sepoi angin, mendengkur alus menikmati tidur pagi.

Semantara Haysel sudah maju ke depan hendak mulai membantu diiringi wajah para siswa-siswi yang senyam-senyum akan kelakuan Pelangi serta Haysel. Russel sudah ingin menimpuk keduanya dengan batu kalau seandainya ia menemukan batu sekitar sana, sayangnya tidak ada batu.

Desir ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang