Bab 11 : The Lost Brother

26 9 10
                                    

[Edited]

BAB 11
[The Lost Brother]

Dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan berusia sekitar sepuluh tahun dan tujuh tahun tampak berjalan di tepian rel kereta.

Dengan kaos usang, keduanya tampak memegang sebatang es krim lalu menjilatnya perlahan-lahan.

Di punggung mereka, terdapat sebuah bakul yang di mana di sana berisikan tumpukan sampah plastik.

Mereka terus menjilati es krim di tangan mereka, tanpa peduli tangan kotor itu membuat kesan hiegenis pada batang es krim yang lekat akan tetesan es krim yang mulai mencair.

Bagi mereka, es krim itu sangat berharga, jika dibiarkan melelah secepat mungkin.

“Abang…” Gadis kecil itu menunjuk ke seberang jalan.

Yang di mana di sana terdapat banyak tumpukan sampah.

“Iya, Dek?”

“Ada makanan.” Dan setelahnya, sang kakak menoleh ke seberang, tepat di mana tunjuk sang adik mengarah.

Binar di wajahnya menjelaskan semuanya, bahwa ada rona bahagia yang kini menyelimuti hati sang kakak.

“Ayo ke sana.”

Cacat. Kita dapat melihat bahwa kaki gadis kecil itu cacat. Terbukti dari jalannya yang pincang.

Sang kakak pun dengan segera menuntun sang adik untuk menjejak jalur rel kereta, demi menyeberang ke seberang jalan dan tiba di depan bak sampah yang berantakan.

Sang kakak segera melangkah, menghapus jarak dengan tong sampah yang teramat kotor demi mengubrak-abrik isinya.

Rupanya pencariannya itu menorehkan hasil berupa satu bungkus plastik roti isi.

Senyum sang adik merekah. Begitu pula dengan sang kakak.

“Hari ini kita makan, Abang.”

***

Malam ini cuaca tampak berangin. Kencangnya kibaran angin bahkan sampai membuat pohon-pohon menjadi condong, dan bahkan mampu mematahkan batang-batang pohon.

Tidak lama setelah itu, hujan deras turun beserta kibaran angin menyerupai puting beliung yang mampu melayangkan apa pun yang tidak bertumpu di sekitarnya.

Seorang wanita paruh baya dengan daster yang membalut tubuhnya masuk ke wartel yang berada di pinggir jalan.

Ia terobos hujan dengan cepat seraya meraih gagang telepon dan mengetikkan nomor darurat.

Wajahnya tampak pias, seusai meletakkan gagang telepon ke telinga, demi mendengar suara nada sambung, selama itu juga ekspresi gelisah dan khawatir ingin segera menunggu respon ia berikan.

Tut…

Begitu suara yang masuk pada saluran tim panggilan darurat 112. Seorang wanita yang bertugas segera menyambutnya dan berkata, “Halo, selamat malam. Beritahu kami tentang situasi Anda.”

“Anak… a-ada anak hilang! D-dia menghilang sejak tadi badai tiba! D-dia lenyap begitu saja dan--dan dia…”

“Baik, tenang. Tetap di sana, kami akan segera mengirimkan tim ke tempat Anda berada.”

“Secepatnya!” teriak wanita itu, selayaknya sedang kehantuan.

Ia pun segera keluar dari tempat itu, kembali berlari dengan menerobos hujan, mengabaikan bajunya yang seketika basah karena terkena air hujan.

Tidak lama kemudian, ia tiba di balai desa, di mana para warga mulai berkumpul. Mengabaikan derasnya hujan yang saat itu sedang berlangsung.

Raut serius terpatri dari setiap wajah warga yang berkumpul di sana dengan berbagai macam praduga dan pikiran.

BluebonnetsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang