Bab 17 : Disturbance in the Forest

22 4 0
                                    

[Edited]

BAB 17
[Disturbance in the Forest]

Awan parkirkan motornya di tempat biasa di mana ia meletakkan motornya saat datang ke tempat ini: Hutan Gunung Hantu.

Setelah mencabut kunci dan menyakukannya ke celana, laki-laki itu mulai melangkah melewati pagar pembatas yang sengaja dipasang para warga yang tinggal di sekitar Gunung Hantu.

Begitu Awan baru saja melewati pagar itu dengan cara melangkahinya, seorang bapak tua dengan bakul di punggungnya tiba-tiba menegur, “Hei, Nak.”

Awan menoleh ke belakang. “Ya?”

“Ngapain ke situ?”

Alis Awan mengerut, memangnya harus ya ia memberitahukan tujuannya kepada bapak tua ini?

“Jangan ke sana. Bahaya.” Awan bergeming. “Semalam ada kecelakaan pesawat di situ. Semua orang mati. Roh mereka terjebak di sana. Dan ada makhluk mengerikan penunggu gunung di sana.”

“Saya…” Ucapan Awan menggantung.

“Udah, cepet pergi. Ini mau senja. Makhluk itu sering cari mangsa.”

Dan sialnya, Awan merasa bahwa bapak tua itu menyindir dirinya. Karena ia-juga-merupakan-salah-satu-dari-makhluk-‘itu’ yang disebutkan oleh bapak tua itu, tentu saja berkat Senja.

“Ada barang saya ketinggalan di sana, Pak,” terang Awan.

“Nggak usah. Ikhlaskan saja. Kalau bisa kembali besok, kenapa enggak. Tapi untung-untungan. Kalau kamu nggak ketemu sama ‘makhluk itu’.”

Kening Awan mengerut kentara. “Apa mereka itu?”

Pak tua itu mendatarkan wajahnya. “Vampir. Bangsa drakula.”

Setelahnya, bapak tua itu pun melenggang dengan tubuh bungkuknya, meninggalkan Awan yang masih bergeming di tempatnya. Tak bergerak barang sedetik pun.

Mencoba mengabaikan itu, Awan pun berbalik dan melangkah masuk.

“Tunggu, Nak.”

Awan berhenti, lalu kembali berbalik ke arah bapak tua itu.

“Emangnya di mana barang kamu itu?”

Awan sejenak berpikir. Di mana ia menjatuhkan ponselnya? Perasaan, ponselnya dipegang oleh Senja. Makanya ia ingin menemui Senja segera.

“Agak jauh di dalam mungkin, Pak. Dekat gua-gua kecil.”

“Wah, saya sarankan, lebih baik nggak usah deh. Lupakan barang yang kamu cari. Daerah sana, banyak penunggunya, Nak. Saya yakin seratus persen. Banyak vampir.”

Awan hampir tersenyum saat itu juga. Dan benar saja, bibirnya tidak sengaja terpeleset melepaskan senyum tipis. Mengingat betapa percayanya penduduk sekitar dengan makhluk mitologi itu.

“Emangnya Bapak pernah lihat langsung?” tanya Awan.

Kali ini gantian, kening sang bapak tua yang mengerut. “Saya lama menghuni tempat ini, asal kamu tahu, ya. Banyak pengalaman kami mencaritahu tentang gunung ini. Dan nggak ada yang kembali. Dan pencarian itu kami hentikan. Itu sebabnya saya peringatkan kamu, kalau masih sayang nyawa, buang aja. Ikhlaskan.”

“Kalau lewat? Apa saya bakal… mati, gitu, Pak?”

“Ya berkemungkinan.”

“Oh…”

“Terserah kamu. Saya sudah peringatkan.” Dan bapak tua itu benar-benar melenggang, tanpa sama sekali menoleh ataupun berhenti lagi kepada Awan, hanya sekadar untuk ‘kembali’ bertanya.

BluebonnetsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang