Bab 28 : The Best Option is How to Prove It

21 3 0
                                    

[Edited]

BAB 28
[The Best Option is How to Prove It]

LANGIT

Well. Sepanjang malam aku insomnia. Untuk kali pertama dalam satu tahun terakhir aku mengalami insomnia. Bukannya apa, biasanya jika sudah pukul satu atau bahkan sampai tiga malam pun aku tidak tidur, itu hal biasa, mengingat risiko pekerjaanku.

Kadang kami dibangunkan pukul dua dini hari, kadang ditelepon atasan saat ngedate dengan Sophie. Dan kadang pula atasan menelepon saat aku sedang nyenyak-nyenyaknya tidur pada pukul empat subuh.

Bagiku itu sudah biasa. Sangat biasa. Dan Sophie pun sudah terbiasa dengan pekerjaan pacarnya ini. Masa dinasku tersisa enam belas bulan lagi. Dan saat itu berakhir, akan langsung kulamar cewek bernama lengkap Sophie Pramoedya itu.

Bahkan orang tuanya pun sudah memahami itu. Jauh-jauh hari, sebelum lulus kuliah, pernah sekali cewek itu memintaku untuk bekerja di tempat lain. Kata Sophie, meskipun serabutan, seperti menjaga toko ponsel atau bahkan jadi kuli bangunan pun dengan ijazah sarjana cewek itu pun akan menerimaku apa adanya. Begitu katanya waktu itu. Hampir dua tahun yang lalu.

Tapi aku menolak. Sekali seumur hidupku, ingin sekali rasanya bekerja keras agar aku bisa membahagiakan orang tua, juga Sophie. Yup, mulia sekali lo, Langit~

Aku senang saat cewek itu memutuskan untuk menghormati pilihanku. Dia bilang, dia bakal menunggu hingga masa dinasku berakhir. Dan aku paham cewek itu sekarang, dia meminta yang terbaik.

Itu sebabnya aku menabung.

Setidaknya, dia tidak menderita-menderita amat. Fyi, Sophie itu seorang pramugari. Tak menyangka kan kalian aku memacari--dan akan menikahi--seorang pramugari cantik macam Sophie Pramoedya? Hahaha.

"Ngit..."

Sophie memanggil. Suaranya terdengar seperti mendengkur, tapi sebetulnya tidak.

"Pi..."

"Ngit..."

"Iya, Sophie..."

Dan begitulah sejak tadi. Kami bertelepon hanya untuk saling panggil nama. Aku tahu jika cewek itu sudah seperti itu, pekerjaannya pasti berat dan melelahkan.

Sophie bilang, ada keberangkatan nanti pukul enam pagi. Dan dia tidak bisa tidur. Itu sebabnya kami bertelepon sejak tadi. Karena aku pun sama, tidak bisa tidur.

Gue ngantuk, Ngit…” ucap Sophie di seberang sana. “Hoaam…” Dan sepertinya ia benar-benar dilanda kantuk. “Tapi dua jam lagi. Apa gue bisa bangun?”

“Ya pake alarm lah, Sophie Sayang…” ujarku, yang juga ikut mengantuk. Ada mitos yang dulu santer--bahkan sampai sekarang--kalau kantuk itu menular?

Alarm nggak mempan, Langit Sayang…”

Benar juga. Sophie kan sangat kebo. Mengalahkan si monyet. Awan maksudku, wkwkwkw.

“Sama…”

Gue nggak nyangka aja ya, besok tuh udah Senin aja gitu.”

“Iya,” jawabku tanpa sadar dengan kedua mata tertutup. “Padahal tadi siang baru aja jalan sama Sophie Sayang…” Aku tersenyum. Sial, kamu buat orang ini berbunga-bunga, Sophie Pramoedya!

BluebonnetsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang