Bab 15 : Welcome Home, Feli

17 5 0
                                    

[Edited]

BAB 15
[Welcome Home, Feli]

Sepulang dari Desa Panen Sari, usai dibantu berkemas oleh Awan juga yang lainnya--kecuali tim 4 dan Arzy yang harus kembali ke kantor segera--barang milik Feli yang hanya dibungkus oleh sebuah duffle bag pun siap dibawa pulang.

Sesampainya di rumah, Awan segera menyalakan lampu rumah. Ruangan yang semulanya gelap, kini telah sepenuhnya terang.

Awan melangkah duluan, meletakkan duffle bag yang isinya tidak terlalu padat--karena pada dasarnya, Feli hanya membawa pakaian miliknya sendiri, dan sengaja tidak membawa barang yang lain karena sejatinya, barang-barang di rumahnya tidak ada yang berarti, selain pakaiannya. Tentu, juga dengan alasan kalau rumah itu masih miliknya, tepatnya, rumah sepeninggal orang yang mengasuhnya. Jadi Feli tidak berminat mengosongkan rumah itu--lalu segera melepas topi oranye yang dikenakannya ke sofa.

Sejenak ia bergeming, lalu berbalik. Hanya untuk mengamati sosok gadis kecil yang tampak sedang menatap dirinya dengan sorot polos tersebut.

“Masuk,” ujar Awan.

Mendengar perintah itu, Feli pun mulai melangkah, dengan langkahnya yang terlihat pincang.

Awan yang tidak tega melihat itu lantas berkata, “Mau kubantu?” dengan nada menawarkan, setengah tidak ikhlas, di dalam hati.

Feli sampai di depan Awan. Mata bulatnya menatap laki-laki itu tanpa emosi.

“Aku nggak punya kamar buat kamu. Jadi kamu…” Tidur di sofa aja. Awan mengedar, membuka pintu kamarnya yang super hancur berantakan dengan perkakas yang tidak tahu lagi di mana letak semulanya. Awan mengusak rambutnya seraya mendesis.

“Aku bisa tidur di sofa, Kak,” ujar Feli dengan suara polosnya yang semakin membuat rasa bersalah Awan semakin besar.

“Ah. Jangan!” Nada laki-laki Maharaja itu naik sedikit, hanya sedikit. Agak terdengar frustrasi, mungkin? “Kamu tidur di kamar aja. Biar aku yang di sofa.”

Feli bergeming lama, menatap Awan tanpa berkedip. Setelahnya, ia pun berkata, “Makasih, Kak.” Lalu melenggang masuk ke dalam kamar.

Awan yang melihat isi kamarnya seperti layaknya terkena tabrakan kapal Titanic sontak saja segera membereskan baju-bajunya yang tergeletak di mana-mana. Entah di atas meja, lemari, atau bahkan di atas cermin sekalipun.

Ia geser tumpukan-tumpukan baju-baju yang rata-rata kaos itu dengan kakinya, serta tidak lupa meraih kaos-kaosnya yang bergelantungan di teralis jendela.

“Ini belum kulaundry. Nggak ada waktu. Jadi kamu tidur dulu di sofa selama satu malam, besok baru aku bersih-bersih,” jelas Awan seraya melempar baju-bajunya ke dalam keranjang besar.

Hatchim!

Dan tiba-tiba, Feli bersin. Tatapannya jatuh pada Awan yang tampak kalang kabut menjejali baju-bajunya ke dalam keranjang supaya muat--meskipun pada faktanya tidak akan pernah muat.

“Bau, ya?” tanya Awan, suaranya terdengar frustrasi bukan main. Bahkan wajahnya sekarang sudah semrawut, yang membuat siapa pun akan langsung tidak enak hati menatapnya.

Ia semprotkan parfum ke segala penjuru ruangan, membuat ruangan yang semulanya apek menjadi wangi.

“Udah wangi, kan?” tanya Awan lagi. Ia dorong dua keranjang berisi bajunya ke sudut ruangan.

“Wangi…” jawab Feli. Ia duduk di sudut kasur. Sementara kedua tangannya meraba-raba permukaan sprai dengan perlahan.

“Aku mau mandi dulu. Kalo kamu mau makan, bilang aja. Nanti kubeliin. Soalnya aku nggak pernah masak.”

BluebonnetsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang