Bab 21 : Be a Star in the Sky

34 5 0
                                    

[Edited]

BAB 21
[Be a Star in the Sky]

“Aku panaskan sotonya sekarang…” ujar Feli, berkata dengan suaranya yang terdengar cadel.

“Iya panaskan aja. Terus lo makan.” Awan menjawab, seraya tangannya yang masih terlihat kotor akan tanah diletakkan di dahinya.

“Kalo gitu aku buatkan bubur.”

“Nggak perlu. Sana, ke dapur sendiri.”

“Abang…” Feli menjeda. Suaranya terdengar kecil. Membuat Awan sontak membuka kedua kelopak matanya. Laki-laki itu tak berpaling untuk menatap Feli saat itu, sebaliknya, ia justru menanti. Mendengarkan. “Aku mimpi abang tadi. Abang bilang, selamat tinggal.”

Tanpa sadar, Awan mengangkat sudut bibirnya sebelah. “Kenapa baru paham?”

“Aku sudah paham… tadi malam.”

“Ya, lalu?”

“Aku cuman takut nggak bisa melepaskan abang.”

“Wajar.” Awan menutup matanya. Ia suka gelap seperti sekarang, rasanya menenangkan.

“Dengan begitu, apa abang bisa tenang?”

“Paham apa sih lo tentang itu?” sahut Awan cepat, ia tolehkan kepalanya ke arah Feli.

“Jadi abang udah jadi bintang di langit, kan? Yang pergi, dan yang saat ini dalam kenangan… Mas?”

“Kenapa jadi bintang di langit?”

“Kata bu Gayatri, yang pergi akan jadi bintang di langit. Setiap malam, mereka lihat kita. Jadi sekarang, abang lagi lihat aku, kan?”

Awan terpaku. Sorotnya tak berarti.

That’s why,” Awan menjeda. “You have to stop daydreaming.”

“Huh?” Feli tertegun.

Awan berbalik, memutar tubuhnya menghadap ke sandaran sofa, membelakangi Feli yang masih senantiasa berdiri di sana dengan sorot polos.

“Itu metafora yang buruk.”

Feli bergeming. Dari sorotnya, ia tampak tidak mengerti. Tapi dengan itu, ia menanti.

“Jangan percaya kalo orang yang udah nggak ada itu bakalan jadi bintang. Saat mereka mati, mereka kembali ke tanah. Menyatu dengan tanah. Gimana bisa mereka jadi bintang dan ada di atas sana?”

“Tapi…”

“Buka mata lo lebar-lebar. Make a simple aja, Feli,” Awan memutar tubuhnya, tapi tidak berbalik. “There’s no life after death. Kehidupan setelah kematian itu nggak ada.”

“Mas Awan nggak suka ya aku di sini?” tanya Feli, usai menahan pertanyaan itu sejak tadi di kepalanya.

Awan bergeming. Tatapannya lurus menghadap ke arah sandaran sofa.

“Bukannya gitu.”

“Jadi sebenarnya Mas Awan itu baik, kan? Mas kan bantu cari abang, terus kasih makanan enak ke aku...”

Awan bergeming. Lurus. Tatapannya masih lurus. Tidak ada kedipan satu kali pun saat itu.

“Maaf kalo aku ngerepotin Mas, ya…”

“Tidur sana,” ujar Awan sembari menarik selimut yang tersampir di sandaran sofa dan menyelimuti dirinya sendiri. Suaranya terdengar dingin. Entah, saat ini ia sedang tidak baik-baik saja. Ia kesal kepada siapa pun. Tapi ia juga tidak bisa melakukannya. Tapi kenapa, ia harus melampiaskan ini kepada seorang anak kecil yang tidak bersalah?

BluebonnetsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang