Bab 12 : Searching for the Lost Boy

27 9 13
                                    

[Edited]

BAB 11
[Searching for the Lost Boy]

Begitu mobil baru saja tiba di depan bangunan balai desa, semua warga yang berkumpul di sana segera keluar dari tempat mereka hanya untuk memberikan tatapan tajam kepada tim yang baru saja keluar dari dalam mobil dengan jas hujan oranye mereka.

Kedelapan orang itu pun segera menghampiri para warga desa di teras.

“Kenapa lama sekali!” teriak Pak Kepala Desa dengan wajah berang, amat sangat berang, kepada Arzy yang baru saja tiba di sana.

Ia sibak tudung jas hujan itu dan menjawab, “Sebelumnya maaf, Pak, karena kedatangan kami agak sedikit terlambat--

“Bukannya sedikit terlambat! Tapi ini sangat LAMBAT!” gertak seorang wanita paruh baya dengan wajah yang tidak kalah berang dari sang Kades.

“Iya, kami meminta maaf atas keterlambatan ini. Karena cuaca ekstrem sedikit menghambat--

“Aaaah! Cukup. Berhenti membual!” gertak Pak Kades, yang sontak membuat kedelapan tim dari SAR itu berjengit karena kaget.

Arzy berdeham canggung, dalam hati memang sangat dongkol. Bukan maksudnya untuk membual, tentu saja ia mengatakan kebenarannya.

Karena faktor cuaca yang tidak mendukung, tentu saja menyebabkan kedatangan mereka sedikit terlambat demi mencegahnya terjadinya kecelakaan karena tergelincir.

Apalagi daerah di sini menanjak, dan itu rawan.

“Menurut laporan, seorang anak dari desa ini dilaporkan menghilang saat badai, pada sekitar pukul..,” Arzy melirik arloji yang melilit pergelangan tangan putihnya seraya membaca detik jam lalu melanjutkan, “19.16 malam ini.” Ia pun menatap kepada sang Kades. “Terakhir kali dilihat, dia ada di mana?”

“Di warung saya, terus seorang wanita datang membawa dia dan… sejak itu dia nggak pulang.” Seorang wanita, yang melaporkan hilangnya anak itu melalui wartel.

“Boleh saya bicara sama orang tuanya sebentar?” tanya Awan.

Semua warga desa yang semulanya berisik samar karena bisik-bisik dengan bernada nyinyir, akhirnya semuanya terdiam begitu pertanyaan itu meluncur. Dalam sekejap, semua ekspresi bergantikan tegang, seolah baru saja melihat sosok hantu.

“Mereka nggak punya orang tua,” jawab seorang wanita yang lain.

Kali ini gantian, anggota SAR yang terdiam.

“Kami curiga anak itu tertabrak kereta, atau hilang di dalam hutan.”

Lama para tim terdiam, hingga Langit pun mengangguk paham seraya berkata, “Baik.” Jadi itu alasannya. Jika anak itu diculik, tidak mungkin mereka memanggil Damkar, apalagi tim SAR. Kecuali jika kasusnya yang diculik adalah anak Presiden, tidak, Langit hanya bercanda.

“Baik. Sementara ini, kita bergerak lebih dulu selagi menunggu BPBD, polisi kota dan Damkar,” perintah Arzy. “Bapak-bapak sekalian dipersilakan membantu proses pencarian.”

Dalam beberapa detik, beberapa bapak-bapak sudah siap dengan jas hujan yang melekat di tubuh mereka.

“Kita menuju ke beberapa titik lokasi. Awan, ikut gue dan Pak Kades sama Pak…” Tatapannya jatuh kepada seorang pria berperut buncit.

“Pak Mamat.”

“Baik, Pak Mamat. Sisanya berpencar. Dan Pri sama Nantha.” Arzy menoleh Prim. “Temani adik korban di rumahnya.”

“Oke.”

“Oke.

“Ayo.” Keempat orang itu pun--Awan, Arzy, Pak Kades dan Pak Mamat segera berpencar menembus derasnya hujan, diikuti oleh yang lain termasuk Langit, dan anggota SAR lainnya.

BluebonnetsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang