Bab 29 : Time to Go, Feli

19 3 0
                                    

[Edited]

BAB 29
[Time to Go, Feli]

Satu hari yang lalu…

Sabtu, pukul 05.23 AM.

“Mas Awan, bangun.”

Suara itu terdengar samar di telinga Awan yang sedang tidur lelap. Sekali lagi Feli memanggil, dan itu masih terdengar samar. Tapi untuk kali ketiga, Awan terbangun dengan tersentak. Ia pun melenguh sebal lalu memutar posisi tubuhnya.

Tapi tiba-tiba… tuk!

“Aaaah!” serunya refleks begitu kakinya yang patah--yang belum sepenuhnya pulih--menghantam sandaran sofa. Kedua matanya mendadak terbuka. Jika ditanya, apakah ia menangis? Tepatnya, meringis hingga mengeluarkan air mata. Ngilu, guys. Hahaha.

“Maafin aku…” ujar Feli.

“Bukan salah lo.” Awan bangun. Ia menguap lebar sembari ditutup dengan tangan kanannya. Setelah melakukan itu, ia pun duduk sebentar.

“Makasih…”

“Kok makasih?”

“Karena nggak nyalahin Feli…”

Awan menggelincirkan senyum miringnya. Setelahnya, ia pun bangkit dari sofa.

“Mandi dulu. Aku mau ke pasar. Boleh?” tanya gadis kecil itu tanpa diduga.

Awan menoleh cepat.

“Tahu pasar emang di mana?”

Feli tampak berpikir. “Mmm… aku nggak tahu, sih. Tapi nanti bisa dicari-cari. Tapi tenang kok! Nggak akan lama. Ya, Mas?”

“Kalo semisal pas lagi cari-cari tiba-tiba lo diculik gimana?”

“Huh?”

“Gue nggak mau nemenin, loh.”

“Iya, nggak papa…”

Awan bergeming sebentar, sebelum pada akhirnya ia mendengus tertawa. Setelahnya, ia pun bangkit dari sofa lalu berjalan menuju ke arah dapur. Usai meraih sebuah handuk, ia pun berkata, “Lo lupa atau sedang menahan diri sekarang?” seraya membalikkan badan ke arah sosok Feli.

“Kemaren kan gue bilang mau beliin makanan laut. Lupa atau takut nagih?”

Feli bergeming. “Lupa…”

“Lupa atau takut?” ulang Awan dengan suara yang terdengar sedikit lebih tegas.

“Kalau aku jujur, apa Mas marah?”
Marah?

“Itu yang harus gue tanya, karena takut apa sampe lo harus bohong?”

Feli terdiam, lebih tepatnya terhenyak.

“Huh?” tanya Awan lagi. “Gue tanya sekali lagi, apa dengan bohong bisa buat orang lain bahagia?--oke, jangan jauh-jauh. Spesifiknya aja, apa dengan lo berbohong bilang ke gue kalo lo lupa sementara kemaren gue udah janji buat beliin lo sesuatu, bisa bikin gue seneng karena akhirnya gue nggak harus pake uang buat beli sesuatu yang sebetulnya nggak perlu gue beli untuk orang lain? Gitu?”

Feli masih bergeming. Untung ia punya pertahanan yang kuat. Jika itu anak lain yang digitukan Awan, mungkin anak itu sudah menangis jingkar sekarang. Namun, ini Feli. Dari kecil sudah dilatih untuk tidak menangis pada hal kecil, juga bentakan.

“Sini gue ajarkan satu hal ke lo,” ujar Awan, melanjutkan ucapannya seraya merangsek maju mendekati Feli, berjongkok di depan gadis kecil itu dan menggenggam kedua pundak gadis kecil itu sedikit erat. “Setiap orang punya keraguan. Dalam beberapa kasus, mereka boleh ragu akan sesuatu yang mungkin atau harus mereka pertimbangkan ke depannya. Tapi bukan berarti mereka harus selalu ragu. Karena kita nggak tahu, kesempatan apa yang ada di depan saat kita sedang ragu. Sedang berpikir. Menimbang. Menentukan jawaban. Saat gue bilang mau belikan makanan ke lo, itu hak yang harus gue penuhi, kan? Karena gue udah membuat lo berharap. Lalu saat gue lupa, yang seharusnya lo lakukan adalah menagihnya ke gue. Bukan ikut-ikutan lupa. Menahan diri karena takut? Itu yang nggak pernah sekalipun orang tua gue ajarkan ke gue, Feli.”

BluebonnetsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang