Bab 25 : Red-eye Burgundy Killa

25 3 0
                                    

[Edited]

BAB 25
[Red-eye Burgundy Killa]

AWAN

Khrrrkkk!

Aku tersentak bangun saat tiba-tiba kepalaku kehilangan sandaran. Cahaya matahari merembes mengenai wajahku, sementara mataku yang mengantuk samar-samar mencoba menyesuaikan cahayanya yang mencoba menyerobot retina mata.

Aku menggelengkan kepala yang pusing karena rupanya aku tidur tidak bersandar. Leherku pun sepertinya pegal sekali.

Aku menegakkan tubuh, mencoba meregangkan tubuh sekuat mungkin. Tapi tunggu sebentar. Rupanya aku masih di depan minimarket. Hahaha, ketiduran di sini aku ternyata.

Juga Langit yang tampaknya masih tidur dengan kepalanya yang terebah di atas meja bak tidur orang yang sedang mabuk--padahal faktanya tidak.

You know, guys?

Seluruh badanku sakit semua.

Kucoba untuk menengok jam yang melingkar di pergelangan kiriku. Owh, shit. PUKUL DELAPAN LEWAT LIMA BELAS MENIT!

HELL.

“NGIT! WOY, LANGIT! BANGUN, NYET! KITA TELAT MASUK KERJA, BODOH!”

Langit bangun. Ia linglung. Aku pun menambah, “CEPETAN, NYET!”

“Astaghfirullah! Nyet, kok lo baru bilang!”

Nyatanya, aku sudah ngacir duluan tanpa aba-aba.

Tapi setelahnya, aku berbalik untuk menunggu Langit bangkit dan berlari ke arahku.

“Motor gue dulu, Nyet!”

“Lah, motor gue gimana, Nyet!” serunya dengan mata sipit dan bengkak.

Aku? Jangan ditanya. Mungkin lebih parah.

“Nanti aja, Nyet. Pulang kerja gue bantuin ambil deh.” Kutarik kerah jaketnya dan tanpa aba-aba segera berlari menyeret si kunyuk itu untuk mengikuti langkahku.

“Jauh banget, Nyet. Maa syaa Allah. Lo ada-ada aja sih!” protes si Langit.

“Duh, Nyet. Please lah. Naik taksi. Gue yang bayarin deh, Nyet. Ya?”

“Akh!”

“Ah, Nyet! Katanya mau ikut ke penjara bareng gue. Tapi giliran disuruh temenin ambil motor aja lo ogah-ogahan!”

“Iyadeh anjing! Pinter banget ngeles lo, sayap bekantan.”

“Bekantan kagak ada sayap, bego!”

***

Saat ini aku kelimpungan di dalam rumah. Keluar masuk dari kamar lalu ke ruang tengah, lalu ke dapur lalu ke mana pun di seluruh penjuru rumah.

Dari sudut mataku, Feli tampak memerhatikanku. Ia sedang menyapu rumah sekarang, tidak heran ia begitu. Karena aku mengacaukan semuanya pagi ini.

Kuhempaskan bokongku ke sofa tanpa peduli apa pun lagi lalu melepas gips yang membalut kedua kakiku. Setelah beres, rasa sakitnya memang sedikit berkurang. Tapi tetap saja akan merepotkan jika terus dipasang gips, kan? Mending kucabut saja.

“Aaaaah!” jeritku saat berusaha memasang kaos kaki dengan cara menekuk kakiku.

“Mas Awan pelan-pelan, sini aku bantu,” ujarnya mencoba beralih kegiatan dari sapunya.

“Nggak usah. Bisa sendiri gue,” ujarku menjawab cepat. Tapi memang benar, kaos kaki itu sudah terpasang rapi sepenuhnya.

Aku lanjut berdiri, meraih ponsel yang tergeletak di atas televisi. Beruntung tanganku panjang, jadi tidak perlu susah payah meraihnya.

BluebonnetsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang