5. Ketika Memori Hilang

830 140 35
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Alat-alat medis yang berada di ruangan Ghea nampak berjalan normal seperti biasanya pagi itu, hingga suara dari salah satu alat kemudian membangunkan Ardian dari tidur lelapnya tepat di samping tubuh sang istri. Ketika akhirnya ia mendongak dan mengerjap beberapa kali, mendapati sinar matahari berhasil menusuk indra penglihatannya, Ardian hanya mendengkus ringan.

Ia mengedarkan pandangan dan menyadari bahwa kamar itu sudah kosong. Reza telah pulang sore kemarin, El mungkin saja berada di sekolah sekarang setelah diantar oleh Aini. Sedangkan Tata, Intan --ibu Ardian-- telah membawa cucunya itu ke kediamannya.

Pria yang berada di tempat duduk itu kemudian menoleh pada tubuh di depannya, seraya menyugar rambut wanita tersebut secara perlahan disertai senyum yang menawan. Ardian memajukan tubuh, lalu memberikan kecupan di kening Ghea berulang kali.

"Mama belom bangun ya? Papa udah, dong. Sekarang, Papa bingung mau sarapan apa," ujarnya perlahan.

Ardian kemudian meraih tangan Ghea dan menggenggamnya erat. Tangan sang istri kemudian ia bawa menuju bibir dan diberi kecupan yang sama. Tatapan Ardian, semua juga dapat mengetahui bahwa sorot itu sarat akan cinta kasih. Namun, seketika senyum yang terlihat di wajah sang adam luntur.

Anehnya tangan Ghea tidak dingin lagi seperti hari-hari kemarin. Ah, apa mungkin karena terkena cahaya matahari? Tapi, bukankah seharusnya beberapa hari yang lalu juga seperti itu?

Oh?

Ada gerakan kecil dari jemari Ghea membuat degup jantung Ardian seakan berlomba. Mulut sang adam terbuka lebar. Dengan pelan, Ardian menurunkan tangan Ghea kembali ke posisi semula.

"Sayang? Hei, Mama ... Mama denger Papa, nggak?" ujar Ardian dengan sorot mata takjub. Tangannya kemudian bergerak mengelus pipi Ghea. "Mama, Mama denger, kan? Papa di sini. Papa nungguin Mama bangun. Anak-anak juga, Ma."

Kali ini, bibir Ghea tampak bergetar perlahan yang semakin membuat Ardian tak percaya. Dengan langkah cepat, Ardian berlari keluar ruangan untuk memanggil dokter. Sial. Dia lupa jika sebuah alat yang berada di samping Ghea dapat langsung ditekan dan terhubung dengan pusat informasi, sehingga ia tak perlu keluar kamar.

Saat dua dokter dan beberapa suster akhirnya masuk, lalu memeriksa tubuh Ghea, secara perlahan perempuan itu membuka matanya. Pandangan sang hawa bertemu dengan manik Ardian yang kini telah membungkuk hingga wajah mereka sangat dekat satu sama lain.

"Mas ... Mas?" lirih Ghea.

"Iya, Sayang?" jawab Ardian pelan. Jujur, tangan Ardian juga ikut bergetar ketika akhirnya mata mereka saling terpaku.

"Aku ... di mana?"

"Kamu ada di rumah sakit sekarang." Ardian tersenyum simpul.

Seorang dokter perempuan dengan rambut yang digelung, mengenakan kacamata, dan memiliki poster tubuh tinggi itu pun maju selangkah ke arah Ghea. Dengan kedua sudut bibir yang dinaikkan, ia berujar lembut, "Ibu, saya Putri, dokter yang menangani Ibu. Ibu Ghea mengalami insiden yang menyebabkan trauma di kepala. Apa Ibu ingat kejadian terakhir sebelum berada di sini?"

Irreplaceable You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang