.
.
.
"Papa ngediemin Mama dari kemarin sampe malam ini. Ngehindarin Mama. Papa kenapa? Kalo Mama ada salah, Papa bilang, dong. Mama nggak ngerti apa yang ada di pikiran Papa kalo Papa nggak ngomong," acap Ghea sambil memperhatikan suami dari cermin.Ghea nampak duduk di depan meja rias menggunakan gaun merah tanpa lengan berbelahan dada rendah dan menjuntai hingga semata kaki. Penampilan Ghea semakin memesona dengan stileto berwarna senada dan clutch bag hitam koleksi terbaru dari sebuah desainer ternama. Rambut yang digelung rapi hingga memperlihatkan leher jenjang menambah kesan seksi yang sesekali mampu menarik atensi sang suami di belakang sana.
Tidak mendapatkan respons seperti yang ia harapkan, Ghea pun bangkit dan memutar tubuh pada Ardian yang kini telah rapi dan mulai mengenakan jam tangan. Melihat itu, Ghea membantu sang adam dengan lembut.
"Pa," panggil Ghea seraya mengambil satu tangan Ardian.
Laki-laki itu memejam sebentar, sebelum akhirnya ia menatap manik gelap sang istri. Terpaku akan afeksi kecil yang ia terima.
"Papa cuma kecapean aja, Ma. Malas ngomong," ujar Ardian pelan.
Ghea kemudian bergerak untuk melingkarkan tangan di pinggang sang adam. "Tau gak, sih, kalo Mama nggak percaya dengan apa yang Papa bilang sekarang. Bukan sejam dua jam, tapi Papa nyuekin Mama sejak kemarin. Papa marah sama Mama karena belanjaan Mama banyak? Sebel karena Mama pulang telat kemarin? Kalo iya, Mama minta maaf. Ayo, Pa, kita bicarain pelan-pelan. Mama nggak suka didiemin gini."
Alih-alih menjawab, Ardian hanya menundukkan pandangan.
"Pa, Mama minta maaf," lirih Ghea sekali lagi.
Terpejamnya netra sang suami membuat Ghea semakin merasa bersalah. Akan tetapi, ia juga tak paham apa yang membuat Ardian menghindar darinya dan memilih untuk berdiam diri dalam ruang kerja sepulangnya dari kantor satu hari yang lalu. Ia hanya menghampiri dan menggendong Tata saat anak bungsunya itu rewel. Selebihnya, tidak ada. Laki-laki itu akan kembali ke ruang kerja dan masuk ke kamar tidur pada pukul empat pagi.
Tidak, ia bahkan tidak berbicara sepatah dua patah kata pada Ghea. Jangankan berbicara, melirik dari sudut mata pun tak ia lakukan.
"Mama nggak bisa baca pikiran Papa."
Mendengar ungkapan itu, Ardian yang semula terdiam lama langsung meraih tubuh Ghea dalam pelukan erat yang membuat puan berambut hitam tersebut memamerkan lengkungan bibir yang indah. Berkali-kali Ghea membelai punggung Ardian dengan penuh perhatian.
"Papa nggak suka Mama pulang telat. Kasian anak-anak kalo Mama tinggal sampe sore kayak gitu. Setidaknya kalo tau bakalan pulang telat, adek harus diajak." Ardian berujar tanpa melepaskan pelukannya sama sekali.
"Maaf, Papa. Mama janji nggak akan ninggalin anak-anak sampe selama itu lagi. Tapi, please, kalo Mama ada salah, Papa langsung tegur Mama aja. Jangan didiemin kayak kemarin karena itu nggak enak banget. Maaf ya, Sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Irreplaceable You [✓]
Fanfic[COMPLETED] "Setelah semua ini berakhir, aku nggak peduli kalo kamu mau ambil semuanya, termasuk anak-anak dan suamiku. Tapi, aku mohon. Untuk sekali ini saja, tolong aku! Cuma kamu yang bisa ngelakuin itu semua." Pernyataan mendadak dari Ghea memb...