31. Dikara, Bratadikara

374 59 12
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.


Percakapan Ghea dan Wijaya harus terhenti tatkala suster telah kembali ke hadapan mereka, menjelaskan tentang jadwal rutin Wijaya yang harus beristirahat sebelum pukul sepuluh. Ghea paham akan hal itu, lantas menemani dan mengantar Wijaya hingga ke pintu kamar tanpa seorang anggota keluarga pun yang mengikuti. Setelah mengucapkan selamat malam, Wijaya pun hilang dibalik pintu bersama dua suster dan seorang pria berseragam keamanan. Nampaknya, beliau sangat dijaga ketat.

Ghea kembali berjalan menuju ruangan tengah untuk menemui anggota keluarga lainnya. Selama perjalanan, perkataan Wijaya masih terngiang dalam ingatan yang membuat Ghea hanya mampu mendengkus berulang kali.

Perempuan itu pun bergegas menuju meja di samping dinding kaca yang menghadap langsung ke taman belakang. Beberapa anak-anak masih bermain, tetapi banyak juga di antara mereka yang keletihan dan terlelap dalam pelukan orang tua masing-masing. Tanpa terkecuali bagi Tata, Aini bahkan harus menggendong Tata menuju Ghea karena sang anak tak ingin digendong oleh papanya.

"Dari tadi rewel nyariin Kak Ghea," acap Aini seraya menyerahkan Tata perlahan.

"Lah, Kakak dari tadi di belakang bareng opa."

"Kayaknya si kecil nggak liat Kak Ghea, deh, makanya nangis mulu. Aku juga dari tadi muter-muter nggak ngeliat Kakak, tuh."

"Ini Kakak juga baru balik habis nganterin opa ke kamarnya."

"Oalahhh, yaudah ya, Kak, aku mau ke sana dulu. Aku mau gosip sama yang lain. Mau gabung, nggak? Ada Kak Dimas, Kak Meta, sama Kak Diva juga, lho. Mereka, kan, masternya julid," acap Aini yang membuat Ghea menggeleng seraya memamerkan senyum tipis.

"Nggak, deh, makasih. Ini Kakak mau nidurin si kecil dulu."

"Okey, okey ...."

Sepeninggal Aini, Ghea bergegas mencari tempat ternyaman untuk menidurkan Tata. Pilihan perempuan akhirnya jatuh pada sofa empuk panjang di ruang tamu yang tidak terlalu ramai. Sebenarnya, Ghea bisa saja memilih kamar yang ada di rumah tersebut. Banyak tante dan om Ardian menyarankan seperti itu. Sayangnya, Ghea merasa tak enak jika tak didampingi Ardian. Terlebih, ia tak menemukan keberadaan suaminya dalam jarak pandang.

Ghea menggerakkan tubuh ke depan dan belakang dengan teratur agar Tata cepat terlelap. Netra anak itu masih terjaga dan mulutnya pun sedikit terbuka, tetapi terlihat jelas raut penuh keletihan.

"Ayo, Nak. Bawa ke kamar atas aja!" ajak Arista, istri dari anak ketiga Wijaya yang baru saja dari luar rumah. Mengambil sesuatu yang tertinggal di mobil, katanya.

Puan itu tersenyum kikuk seraya meringis pelan. "Eh, nggak usah, Tante. Di sini aja. Soalnya kalo aku pindah lagi, nanti adek nangis."

"Iya juga, ya. Kalo begitu mau Tante cariin Ardian, nggak? Supaya nemenin kamu. Maaf ya Tante harus ketemu sama Tante Vani, jadi nggak bisa nemenin kamu di sini, Sayang."

Irreplaceable You [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang